BAB IV
PEMBAHASAN
Dalam
membahas asuhan keperawatan ini penulis menggunakan lima tahap proses Asuhan
Keperawatan yang meliputi: Pengkajian, Diagnosa Keperawatan, Intervensi,
Implementasi dan Evaluasi. Adapun pembahasannya akan penulis uraikan sebagai
berikut:
A.
Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan
dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan
data dan perumusan kebutuhan masalah klien.
Berikut
penulis uraikan kesenjangan yang terjadi antara landasan teori yang penulis
cantumkan dengan kasus Tn. S pada saat dilakukan pengkajian. Menurut Dermawan
(2013) tanda dan gejala Isolasi Sosial dibagi menjadi gejala subjektif yaitu: klien
menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain, klien merasa tidak
aman berada dengan orang lain, respon verbal kurang dan sangat singkat, klien
mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain, klien merasa bosan
dan lambat menghabiskan waktu, klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat
keputusan, klien merasa tidak berguna, klien tidak yakin dapat melangsungkan
hidup dan klien merasa ditolak. Sedangkan gejala objektif yaitu: klien banyak
diam dan tidak mau bicara, tidak mengikuti kegiatan, banyak berdiam diri di
kamar, klien menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang yang terdekat,
klien tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal, kontak mata kurang, kurang
spontan, apatis (acuh terhadap lingkungan), ekspresi wajah kurang berseri,
tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri, mengisolasi diri,
tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya, masukan makanan dan
minuman terganggu, retensi urin dan feses, aktivitas menurun, kurang energi
(tenaga), rendah diri, dan postur tubuh berubah, misalnya sikap fetus/janis
(khususnya pada posisi tidur). Adapun tanda dan gejala Isolasi Sosial: Menarik
Diri pada klien Tn. S yaitu data subyektif: klien mengatakan tidak mau
berinteraksi dengan orang lain, klien mengatakan lebih sering menyendiri dan klien
mengatakan selama dirawat di rumah sakit tidak ada yang dekat dengan klien.Data
obyektif: kontak mata kurang, klien terlihat jarang berinteraksi dengan orang
lain, klien terlihat sering menyendiri, afek klien datar, klien terlihat sering
berdiam diri, ekspresi wajah tidak berseri dan klien berbicara lambat.
Berdasarkan perbandingan di atas,
penulis menemukan kesenjangan di teori ada, tetapi pada klien Tn. S tidak
ditemukan klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak orang lain, klien
tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan, klien tidak yakin dapat
melangsungkan hidup. Hal ini terjadi jika ada masalah klien memilih hanya
berdiam diri dan menghindar, klien mengatakan perannya di rumah sebagai kepala
keluarga dan pengambil keputusan dalam rumah tangganya, dan klien ingin cepat
pulang dan berkumpul bersama keluarganya. Data obyektif masukan makanan dan
minuman terganggu, retensi urin dan feses, dan postur tubuh berubah, misalnya
sikap fetus/janis (khususnya pada posisi tidur). Hal ini tidakterjadikarena klien makan 3 kali sehari, klien BAB dan
BAK di kamar mandi/WC mandiri tanpa bantuan dari orang lain, dan klien tidur
siang pukul 13.00 Wita sampai jam 15.00 Wita, tidur malam pukul 21.30 Wita dan
bangun jam 06.00 pagi Wita.
B.
DiagnosaKeperawatan
Pada tahap penyusunan diagnosa
keperawatan penulis tidak mengalami hambatan karena adanya beberapa literatur
yang sangat menunjang sehingga penulis dapat merumuskannya. Menurut Keliat (2006)adapun
diagnosa keperawatan yang dirumuskan pada klien diagnosa keperawatan yang
mungkin muncul pada klien dengan masalah utama Isolasi Sosial: Menarik Diri sebagai
berikut:
1.
Isolasi Sosial: Menarik
Diri
2.
Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi Pendengaran
3.
Resiko Perilaku Kekerasan
Terhadap Diri Sendiri
4.
Gangguan Konsep Diri:
Harga Diri Rendah Kronis
5.
Defisit Perawatan Diri:
Mandi dan Berhias
Pada Tn. S,
penulis merumuskan 6 (enam) diagnosa keperawatan yaitu:
1. Isolasi Sosial: Menarik Diri
2.
Gangguan Konsep
Diri: Harga Diri Rendah
3. Defisit Perawatan Diri: Mandi dan Berpakaian
4. Resiko Perilaku Kekerasan
5. Koping Individu Tidak Efektif
6. Kurang Pengetahuan Tentang Penyakit Jiwa
Adapun diagnosa keperawatan yang terdapat pada teori tetapi tidak
diangkat pada klien Tn. S adalah Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi
Pendengaran. Menurut Yosep (2009) halusinasi dapat didefenisikan sebagai terganggunya persepsi sensori
seseorang, dimana tidak terdapat stimulus. Pasien merasakan stimulus yang
sebetulnya tidak ada. Pasien merasa ada suara padahal tidak ada stimulus suara.
Melihat bayangan orang atau sesuatu yang menakutkan padahal tidak ada bayangan
tersebut. Membaui bau-bauan tertentu padahal orang lain tidak merasakan sensasi
serupa. Merasakan mengecap sesuatu padahal tidak sedang makan apapun. Merasakan
sensasi rabaan padahal tidak ada apapun dalam permukaan kulit. Dimana pada Tn.
S tidak ditemukan data yang menunjang dalam mengangkat diagnosa tersebut.
Terdapat 2
(dua) masalah keperawatan yang penulis temukan pada Tn. S tetapi tidak terdapat
pada teori yaitu Koping Individu Tidak Efektif dan Kurang Pengetahuan.
Berdasarkan Nanda (2010) koping individu yang tidak
efektif adalah perlindungan ulang palsu pada evaluasi diri yang positif
berdasarkan pola perlindungan diri yang mendasari dianggap membela terhadap
ancaman dengan batasan karakteristik: penolakan dari masalah jelas, kesulitas
menjalin hubungan, kesulitan mempertahankan hubungan, kesulitan dalam persepsi
tentang realitas, kurang tindak lanjut dalam terapi dan kurang partisipasi
dalam perawatan. Hal ini terjadi pada klien Tn. S karena ditemukannya data yang
menunjang yaitu klien mengatakan jika ada masalah klien memilih hanya berdiam
diri dan menghindar.
Berdasarkan Nanda (2010) kurang pengetahuan adalah
ketiadaan atau kurang informasi kognitif yang berkaitan dengan topik tertentu
dengan batasan karakteristik: perilaku hiperbola, ketidakakuratan mengikuti
perintah, ketidakakuratan performa uji, perilaku tidak tepat (histeria,
bermusuhan, agitasi, apatis), dan pengungkapan salah. Hal ini terjadi pada Tn. S
karena ditemukan data yang menunjang yaitu klien mengatakan tidak mengetahui
tentang penyakit yang sedang diderita sekarang,klien mengatakan minum obat 3
kali sehari secara mandiri yang diberikan perawat, terapi medik yaitu chlorpormazin
tablet 2 x 50 mg, resperidon tablet 1
x 2 mg, dantrihexiphenidiltablet 2 x
1 mg.
C.
Perencanaan
Rencana
tindakan keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang dapat mencapai tiap
tujuan khusus. Perawat dapat memberikan alasan ilmiah dapat merupakan
pengetahuan berdasarkan literatur, hasil penelitian atau pengalaman praktik (Keliat,
2006).
Dalam tahap
ini penulis menggunakan format perencanaan dalam bentuk strategi pelaksanaan
(SP) yang ada pada teori Keliat (2010) sehingga memudahkan dalam melaksanakan
tindakan keperawatan. Intervensi penulis buat meliputi intervensi pada pasien
dan keluarga. Penulis membuat intervensi pada semua diagnosa yang muncul pada
pasien secara komprehensif yaitu Isolasi Sosial: Menarik Diri, Gangguan Konsep
Diri: Harga Diri Rendah, Defisit Perawatan Diri: Mandi dan Berpakaian dan Resiko
Perilaku Kekerasan.
D.
Implementasi
Sebelum melakukan tindakan keperawatan
yang sudah direncanakan, perawat perlu memvalidasi apakah rencana tindakan
keperawatan masih dibutuhkan dan sesuai dengan kondisi klien saat ini. Perawat
juga menilai sendiri, apakah mempunyai kemampuan interpersonal, intelektual,
teknikal sesuai dengan tindakan yang akan dilaksanakan. Dinilai kembali apakah
aman bagi klien. Setelah semua tidak ada hambatan, maka tindakan keperawatan
boleh dilaksanakan. Pada saat akan dilaksanakan tindakan keperawatan maka
kontrak dengan klien dilaksanakan dengan menjelaskan apa yang akan dikerjakan
serta peran serta klien yang diharapkan. Dokumentasikan semua tindakan yang
telah dilaksanakan beserta respon klien (Keliat, 2006).
Mengingat
terbatasnya waktu yang diberikan kepada penulis, maka tindakan keperawatan yang
dilakukan selama tiga hari perawatan hanya diagnosa keperawatan yaitu Isolasi
Sosial: Menarik Diri sampaitindakan SP 2 pasien dilakukan dua kali impelementasi, Gangguan
Konsep Diri: Harga Diri Rendah sampaitindakan SP 2 pasien dilakukan dua kali impelementasi,Defisit
Perawatan Diri: Mandi dan Berpakaian sampaitindakan SP 3 pasien dilakukan tiga kali impelementasi dan Resiko
Perilaku Kekerasan sampai SP 1 pasien dilakukan satu kali implementasi.
Intervensi
pada keluarga, penulis tidak dapat implementasikan karena selama 3 hari penulis
memberikan asuhan keperawatan pada pasien, keluarga tidak ada yang berkunjung.
Hal ini penulis delegasikan pada perawat Ruangan Teratai Rumah Sakit Umum
Daerah Tarakan. Hal ini perlu/penting karena menurut Keliat (2010), keluarga
merupakan sistem pendukung yang utama yang memberi perawatan langsung pada
setiap keadaan (sehat-sakit) klien. Asuhan keperawatan yang berfokus pada keluarga
bukan hanya memulihkan keadaan klien tetapi bertujuan untuk mengembangkan dan
meningkatkan kemampuan keluarga dalam mengatasi masalah kesehatan dalam
keluarga tersebut.
E.
Evaluasi
Evaluasi keperawatan merupakan proses
yang berkelanjutan dan terus- menerus untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan yang telah dilaksanakan. Evaluasi dapat dibagi menjadi dua proses
yaitu evaluasi proses (formatif) dan evaluasi hasil (sumatif). Evaluasi proses
dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan keperawatan dan evaluasi hasil
dilakukan dengan cara membandingkan respons klien dengan tujuan yang telah
ditentukan (Keliat, 2006).
Hasil tindakan pada klien Tn. S dapat
diuraikan berikut: diagnosa Isolasi Sosial: Menarik Diri,tindakankeperawatan SP 1 tercapai Klien
dapat mempraktekkan cara berkenalan,tindakankeperawatan SP 2 tercapai Klien dapat mempraktekkan cara berkenalan
dengan satu orang,tindakankeperawatanSP 1, 2 dipertahankandan intervensi didelegasikan ke
perawat di ruang Teratai.
Pada diagnosa Gangguan
Konsep Diri: Harga Diri Rendah,SP 1tercapai, intervensi dalam satu kali
interaksi ditandai dengan Klien mampu melakukan kegiatan menyapu, SP 2 tercapai
Klien mampu melakukan kegiatan mencuci piring danSP 1, 2 dipertahankan dan
didelegasikan ke perawat di teratai.
Pada diagnosa Defisit Perawatan: Diri
Mandi dan Berpakaian, SP 1 Pasien tercapai dalam satu kali interaksi ditandai
denganKlien mampu mengenal pentingnya dan cara kebersihan diri, SP 2 tercapai
Klien mampu mengenal kebersihan diri dan berpakaian, SP 3 tercapai dalam satu
kali interaksi ditandai Klien mampu mengenal alat dan cara makan yang benar dan
SP 1, 2, 3 dipertahankan dan intervensi didelegasikan ke perawat di ruang
Teratai.
Pada diagnosa Resiko Perilaku Kekerasan,
Penulis hanya melakukan sampai SP 1 Klien dapat melakukan cara mengontrol
Perilaku Kekerasan (menarik napas dalam), intervensi dipertahankan dan
didelegasikan ke perawat di teratai.
Dikarenakan
waktu penulis yang sangat singkat dalam hal ini penulis mendelegasikan kepada
perawat yang ada di ruangan Teratai. Sedangkan untuk SP keluarga Klien tidak
berhasil karena pada saat penulis melaksanakan perawatan kepada Klien keluarga
tidak pernah mengunjungi Klien, namun hal ini juga telah penulis
delegasikan kepada perawat di ruangan Teratai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar