ALAT TANGKAP AKTIF DAN PASIF
Alat tangkap aktif
Jarring Arad (beach seine)
Jaring arad merupakan salah
satu alat tangkap yang termasuk di dalam klasifikasi jaring trawl,
karena ukurannya kecil mini trawl dan bekerjanya di dasar perairan sama
seperti trawl yang lain sehingga disebut small bottom trawl.
Pengoperasian jaring arad ini dikhususkan untuk menangkap ikan demersal, karena
adanya sistem membuka dan menutupnya mulut jaring karena adanya papan otter (otter
board) yang dipasang pada bagian depan ujung sayap (wing), otter
trawl ini merupakan trawl dasar yang bagian mulutnya tidak kaku
karena tidak di pasang beam (Ayodhyoa, 1981).
Jarring Trawl
Arti kata “ trawl” lahir kata “trawling” yang
berarti kerja melakukan operasi penangkapan ikan dengan trawl, dan kata
“trawler” yang berarti kapal yang melakukan trawling. Jadi yang dimaksud dengan
jarring trawl ( trawl net ) disini adalah suatu jaring kantong yang ditarik di
belakang kapal ( baca : kapal dalam keadaan berjalan ) menelusuri permukaan
dasar perairan untuk menangkap ikan, udang dan jenis demersal lainnya. Jarring
ini juga ada yang menyangkut sebagai “jaring tarik dasar”. Stern trawl adalah
otter trawl yang cara operasionalnya ( penurunan dan pengangkatan ) jaring
dilakukan dari bagian belakang ( buritan ) kapal atau kurang lebih demikian.
Penangkapan dengan system stern trawl dapat menggunakan baik satu jarring atau
lebih.
Jarring Lingkar (payang)
Payang terbuat dari bahan jarring yang
konstruksinya terdiri dari kantong, badan dan sayap, serta dilengkapi dengan
pelampung dan pembertat serta tali penarik (selambar). Berdasarkan klasifikasi
dari FAO, alat tangkap ini digolongkan sebagai jarring lingkar. Struktur alat
tangkap ini adalah sebagai berikut:
a. Sayap :
dua bagian sayap, yaitu sayap kiri dan kanan
b. Badan :
terdiri atas 6 bagian
c. Kantong (cod end) adalah merupakan tempat
berkumpulnya ikan yang terjaring
d. Tali ris atas
e. Tali ris bawah
f. Tali penarik (selambar)
g. Pelampung
h. Pemberat, terbuat dari bahan timah dan batu
ALAT
TANGKAP PASIF
5.1.
Definisi dan
Klasifikasi Alat Tangkap
Bubu adalah alat tangkap yang umum
dikenal dikalangan nelayan, yang berupa jebakan, dan bersifat pasif. Bubu sering
juga disebut perangkap “ traps “ dan penghadang “guiding barriers”. Alat ini berbentuk kurungan
seperti ruangan tertutup sehingga ikan tidak dapat keluar. Bubu merupakan alat
tangkap pasif, tradisional yang berupa perangkap ikan tersebut dari bubu,
rotan, kawat, besi, jaring, kayu dan plastik yang dijalin sedemikian rupa
sehingga ikan yang masuk tidak dapat keluar. Prinsip dasar dari bubu adalah
menjebak penglihatan ikan sehingga ikan tersebut terperangkap di dalamnya, alat
ini sering diberi nama ftshing pots
atau fishing basket.(Brandt,
1984).
Bubu adalah perangkap yang mempunyai
satu atau dua pintu masuk dan dapat diangkat ke beberapa daerah penangkapan
dengan mudah, dengan atau tanpa perahu (Rumajar, 2002). Menurut Martasuganda,
(2005)Teknologi penangkapan menggunakan bubu banyak dilakukan di negaranegara
yang menengah maupun maju. Untuk skala kecil dan menengah banyak dilakukan di
perairan pantai, hampir seluruh negara yang masih belum maju perikanannya,
sedangkan untuk negara dengan sistem perikanan yang maju pengoperasiannya
dilakukan dilepas pantai yang ditujukan untuk menangkap ikan-ikan dasar,
kepiting, udang yang kedalamannya 20 m sampai dengan 700 m. Bubu skala kecil
ditujukan untuk menagkap kepiting, udang, keong, dan ikan dasar di perairan
yang tidak begitu dalam.
Subani dan Barus (1989), menyatakan bahwa Bentuk
dari bubu bermacam-macam yaitu bubu berbentuk lipat, sangkar (cages), silinder
(cylindrical), gendang, segitiga memanjakan (kubus), atau segi banyak, bulat
setengah lingkaran dan lain-lainnya. Secara garis besar bubu terdiri dari badan
(body), mulut (funnel) atau ijeb dan pintu. Badan bubu berupa rongga, tempat
dimana ikan-ikan terkurung. Mulut bubu (funnel) berbentuk corong, merupakan
pintu dimana ikan dapat masuk tapi tidak dapat keluar dan pintu bubu merupakan
bagaian temapat pengambilan hasil tangkapan.
Menurut Brandt (1984),
mengklasifikasi bubu menjadi beberapa jenis, yaitu :
1. Berdasarkan sifatnya sebagai
tempat bersembunyi / berlindung :
a. Perangkap menyerupai sisir (brush trap)
b. Perangkap bentuk pipa (eel tubes)
c. Perangkap cumi-cumi berbentuk pots (octoaupuspots)
2. Berdasarkan sifatnya sebagai
penghalang
a. Perangkap yang terdapat dinding / bendungan
b. Perangkap dengan pagar-pagar (fences)
c. Perangkap dengan jeruji (grating)
d. Ruangan yang dapat terlihat ketika ikan masuk (watched chambers)
3.
Berdasarkan sifatnya sebagai penutup mekanis bila tersentuh
a. Perangkap kotak (box trap)
b. Perangkap dengan lengkungan batang (bend rod trap)
c. Perangkap bertegangan (torsion trap)
4. Berdasarkan dari bahan pembuatnya
a. Perangkap dari bahan alam (genuine tubular traps)
b. Perangkap dari alam (smooth tubular)
c. Perangkap kerangka berduri (throrrea line trap)
5. Berdasarkan ukuran, tiga dimensi
dan dilerfgkapi dengan penghalang
a. Perangkap bentuk jambangan bunga (pots)
b. Perangkap bentuk kerucut (conice)
c. Perangkap berangka besi
5.1.1.
Klasifikasi Bubu menurut cara operasinya
Dalam
operasionalnya, bubu terdiri dari tiga jenis, yaitu :
1. Bubu
Dasar (Ground Fish Pots).: Bubu yang daerah operasionalnya berada di dasar
perairan. Untuk bubu dasar, ukuran bubu dasar bervariasi, menurut besar
kecilnya yang dibuat menurut kebutuhan. Untuk bubu kecil, umumnya berukuran
panjang 1m, lebar 50-75 cm, tinggi 25-30 cm. untuk bubu besar dapat mencapai
ukuran panjang 3,5 m, lebar 2 m, tinggi 75-100 cm. Hasil tangkapan dengan bubu
dasar umumnya terdiri dari jenis-jenis ikan, udang kualitas baik, seperti Kwe
(Caranx spp), Baronang (Siganus spp), Kerapu (Epinephelus spp), Kakap (
Lutjanus spp), kakatua (Scarus spp), Ekor kuning (Caeslo spp), Ikan Kaji
(Diagramma spp), Lencam (Lethrinus spp), udang penaeld, udang barong, kepiting,
rajungan, dll (Anonim. 2007).
2. Bubu Apung
(Floating Fish Pots): Bubu yang dalam operasional penangkapannya diapungkan.
Tipe bubu apung berbeda dengan bubu dasar. Bentuk bubu apung ini bisa
silindris, bisa juga menyerupai kurung-kurung atau kantong yang disebut sero
gantung. Bubu apung dilengkapi dengan pelampung dari bambu atau rakit bambu
yang penggunaannya ada yang diletakkan tepat di bagian atasnya. Hasil tangkapan
bubu apung adalah jenis-jenis ikan pelagik, seperti tembang, japuh,
julung-julung, torani, kembung, selar, dll. Pengoperasian Bubu apung dilengkapi
pelampung dari bambu atau rakit bambu, dilabuh melalui tali panjang dan
dihubungkan dengan jangkar. Panjang tali disesuaikan dengan kedalaman air,
umumnya 1,5 kali dari kedalaman air, (Anonim. 2007).
3. Bubu Hanyut (Drifting Fish Pots)
: Bubu yang dalam operasional penangkapannya dihanyutkan. Bubu hanyut atau “
pakaja “ termasuk bubu ukuran kecil, berbentuk silindris, panjang 0,75 m,
diameter 0,4-0,5 m. Hasil tangkapan bubu hanyut adalah ikan torani, ikan
terbang (flying fish). Pada waktu penangkapan, bubu hanyut diatur dalam kelompok-kelompok
yang kemudian dirangkaikan dengan kelompok-kelompok berikutnya sehingga
jumlahnya banyak, antara 20-30 buah, tergantung besar kecil perahu/kapal yang
digunakan dalam penangkapan (Anonim. 2007).
Operasi penangkapan dilakukan sebagai berikut :
1. Pada sekeliling bubu diikatkan
rumput laut.
2. Bubu disusun dalam 3 kelompok
yang saling berhubungan melalui tali penonda (drifting line). Penyusunan
kelompok (contohnya ada 20 buah bubu) : 10 buah diikatkan pada ujung tali
penonda terakhir, kemudian kelompok berikutnya terdiri dari 8 buah dan
selanjutnya 4 buah, lalu disambung dengan tali penonda yang langsung diikatkan
dengan perahu penangkap dan diulur sampai ± antara 60 -150 m (Anonim. 2007).
Disamping
ketiga bubu yang disebutkan di atas, terdapat beberapa jenis bubu yang lain
seperti :
1. Bubu Jermal : Termasuk jermal
besar yang merupakan perangkap pasang surut (tidal trap).
2. Bubu Ambai.: Disebut juga ambai
benar, bubu tiang, termasuk pasang surut ukuran kecil.
3. Bubu Apolo.:Hampir sama dengan
bubu ambai, bedanya ia mempunyai 2 kantong, khusus menangkap udang rebon.
5.1.1.1.
Bubu Ambai
Bubu ambai
termasuk perangkap pasang surut berukuran kecil, panjang keseluruhan antara
7-7,5 m. bahan jaring yaitu terbuat dari nilon (polyfilament). Jaring ambai
terdiri dari empat bagian menurut besar kecilnya mata jaring, yaitu bagian
muka, bagian tengah, bagian belakang dan bagian kantung. Mulut jaring ada yang
berbentuk bulat, ada juga yang berbentuk empat persegi berukuran 2,6 x 4,7 m.
pada kanan-kiri mulut terdapat gelang, terbuat dari rotan maupun besi yang
jumlahnya 2-4 buah. Gelang- gelang tersebut dimasukkan dalam banyaknya jaring
ambai dan dipasang melintang memotong jurusan arus. Satu deretan ambai terdiri
dari 10-22 buah yang merupakan satu unit, bahkan ada yang mencapai 60-100
buah/unit. Hasil tangkapan bubu ambai bervariasi menurut besar kecilnya mata
jaring yang digunakan. Namun, pada umumnya hasil tangkapannya adalah
jenis-jenis udang (Subani dan Barus, 1989).
5.1.1.2.
Bubu Apolo
Bahan jaring
dibuat dari benang nilon halus yang terdiri dari bagian mulut, bagian badan,
kaki dan bagian kantung. Panjang jaring keseluruhan mencapai 11 m. Mulut jaring
berbentuk empat persegi dengan lekukan bagian kiri dan kanan. Panjang badan
3,75 m, kaki 7,25 m dan lebar 0,60 m. pada ujug kaki terdapat mestak yang
diikuti oleh adanya dua kantung yang panjangnya 1,60 m dan lebar 0,60 m. Hasil
tangkapan bubu apolo sama dengan hasil tangkapan dengan menggunakan bubu ambai,
yakni jenis-jenis udang (Subani dan Barus, 1989).
5.1.1.3. Konstruksi Bubu
Menurut Subani dan Barus. (1999), Bentuk bubu
bervariasi. Ada yang seperti sangkar (cages), silinder (cylindrical),gendang,
segitiga memanjang (kubus) atau segi banyak, bulat setengah lingkaran, dll. Bahan bubu umumnya dari anyaman
bambu (bamboo`s splitting or-screen). Secara umum, bubu terdiri dari
bagian-bagian badan (body), mulut (funnel) atau ijeh, pintu.
- Badan (body): Berupa rongga, tempat dimana
ikan-ikan terkurung.
- Mulut (funnel): Berbentuk
seperti corong, merupakan pintu dimana ikan dapat masuk tidak dapat keluar.
- Pintu : Bagian tempat pengambilan hasil tangkapan.
5.1.1.4.
Daerah Penangkapan
1. Bubu Dasar (Ground
Fish Pots)
Dalam operasi penangkapan, bubu
dasar biasanya dilakukan di perairan karang atau diantara karang-karang atau
bebatuan (Anonim, 2006)
2. Bubu Apung
(Floating Fish Pots)
Dalam operasi penangkapan, bubu
apung dihubungkan dengan tali yang disesuaikan dengan kedalaman tali, yang
biasanya dipasang pada kedalaman 1,5 kali dari kedalaman air (Anonim, 2006).
3. Bubu Hanyut
(Drifting Fish Pots)
Dalam operasi penangkapan, bubu
hanyut ini sesuai dengan namanya yaitu dengan menghanyutkan ke dalam air
(Anonim, 2006).
4. Bubu Jermal dan
Bubu Apolo
Dalam operasi penangkapan, kedua
bubu di atas diletakkan pada daerah pasang surut (tidal trap). Umumnya
dioperasikan di daerah perairan Sumatera (Anonim, 2006).
5. Bubu Ambai
Lokasi
penangkapan dengan bubu ambai dilakukan pada jarak antara 1-2 mil dari pantai
(Anonim, 2006).
5.2.
Teknik Pengoperasian Alat Tangkap Bubu
Menurut BPPI (1996), alat tangkap
bubu lebih cocok dioperasikan di perairan dangkal, berkarang clan berpasir
dengan keadalaman 2-7 m karena umumnya terbuat dari bambu. Bubu diletakkan pada
celah karang untuk menghadang ikan yang keluar dari celah karang clan posisi
mulutnya harus menghadap ke hilir mudik ikan yang berada di perairan karang.
Metode pengoperasian untuk semua
jenis bubu biasannya sama, yaitu dipasang di daerah penangkapan yang sudah
diperkirakan adanya stok ikan seperti ikan dasar, udang, kepiting, keong,
cumi-cumi dan biota lainnya yang bisa ditangkap oleh bubu. Pemasangan bubu ada
yang dipasa secara tunggal dan juga ada
yang beruntai (seperti pemasangan, rawai). Ditambahkan menurut Direktorat
Jendral Perikanan (1997), cara pengoperasiaan bubu dapat dimulai antara lain
pemberian umpan, selanjutnya perahu berangkat menuju daerah operasi (fishing
Xrouncl) sambil mengamati kondisi
perairan. Bubu dipasang di perairan karang dan merupakan habitat ikan karang.
Kemudian pengangkatan bubu harus dilakukan dengan perlahan-lahan untuk
memberikan kesempatan ikan dalam beradaptasi terhadap perbedaan tekanan air
dalam perairan. Cara pertama, bubu dipasang secara terpisah (umumnya bubu
berukuran besar), satu bubu dengan satu pelampung. Cara kedua dipasang secara
bergandengan (umumnya bubu ukuran kecil sampai sedang) dengan menggunakan tail
utama, sehingga cara ini dinamakan "longline trap". Untuk cara
kedua ini dapat dioperasikan beberapa bubu sampai puluhan bahkan ratusan bubu.
Biasanya dioperasikan dengan menggunakan kapal yang bermesin serta dilengkapi
dengan katrol. Tempat pemasangan bubu dasar biasanya dilakukan di perairan
karang atau diantara pemasangan bubu dasar biasanya dilakukan di perairan
karang atau diantara karang-karang atau bebatuan.
Menurut Martasuganda (2002), waktu
pemasangan (setting) dan
pengangkatan (hauling) ada yang
dilakukan pagi hari, siang hari, sore hari, sebelum matahari tenggelam. Lama
perendaman bubu di perairan ada yang hanya direndam beberapa jam, ada yang
direndam satu malam, ada juga yang direndam tiga sampai dengan empat hari.
4.1.
Pengertian Umum dan Klasifikasi Bagan
4.1.1. Pengertian Umum Bagan
Menurut Mulyono (1986), bagan merupakan salah satu jaring angkat yang
dioperasikan diperairan pantai pada malam hari dengan menggunakan cahaya lampu
sebagai faktor penarik ikan. Bagan atau ada juga yang menyebutnya dengan
branjang, yaitu suatu alat tangkap yang wujudnya seperti kerangka sebuah bangun
piramida tanpa sudut puncak.
Diatas bangunan bagan ini pada bagian tengah terdapat bangunan rumah kecil yang
berfungsi sebagai tempat istirahat, pelindung lampu dari hujan, dan tempat
untuk melihat dan mengawasi ikan. Di atas bangunan ini terdapat roller
yang terbuat dari bambu yang berfungsi untuk menarik jaring.
Selama ini untuk membuat daya tarik ikan sehingga berkumpul di bawah bagan,
umumnya nelayan masih menggunakan lampu petromaks yang jumlahnya bervariasi 2-5
buah. Penangkapan dengan bagan hanya dilakukan pada malam hari (Light
Fishing) terutama pada hari gelap bulan dengan menggunakan lampu sebagai
alat bantu penangkapan (Sudirman dan Achmar Mallawa, 2000).
Tertariknya ikan pada cahaya karena terjadinya peristiwa phototaxis.
Antara lain hal disebutkan bahwa cahaya merangsang ikan dan menarik (attrack)
ikan berkumpul pada sumber cahaya itu atau juga disebutkan karena
rangsangan cahaya (stimulus), kemudian ikan memberikan responnya.
Penangkapan dengan bagan menggunakan bantuan lampu dinamakan light fishing.
Peristiwa phototaxis dimanfaatkan untuk menangkap ikan itu sendiri.
Dapat juga dikatakan dalam light fishing, penangkapan ikan tidak
seluruhnya memaksakan keinginannya secara paksa untuk menangkap ikan tetapi
menyalurkan ikan sesuai dengan nalurinya untuk ditangkap.
Fungsi cahaya pada penangkapan ikan
ini ialah untuk mengumpulkan ikan sampai pada sesuatu catchable area
tertentu, lalu penangkapan dilakukan dengan jaring. Dengan alat jaring ini
dapat dikatakan bahwa jaring bersifat pasif, cahaya berfungsi untuk menarik
ikan ke tempat jaring. Peristiwa berkumpulnya ikan di bawah cahaya ini dapat
dibedakan menjadi 2 yaitu peristiwa langsung dan peristiwa tidak langsung.
Peristiwa langsung yaitu ikan tertarik oleh cahaya lalu berkumpul. Sedangkan
peristiwa tidak langsung yaitu dengan adanya cahaya maka sebagai tempat
plankton berkumpul lalu banyak ikan yang berkumpul untuk memakan plankton
tersebut (Ayodhyoa, 1981).
Daerah penangkapan bagan atau daerah operasi untuk pemasangan bagan adalah
diperairan pantai yang berairkan jernih, mempunyai kedalaman 7 – 10 meter.
Jarak jauhnya dari pantai adalah 2 mil. Antara bagan yang satu dengan bagan
yang lain adalah sekitar 200 – 300 meter. Dasar perairan dipilih daerah yang
berlumpur campur pasir (untuk memudahkan dalam pemancangan tiang bagan
(Mulyono, 1986).
Komponen bahan tancap yang biasanya tidak pernah luput dari pembuatan bagan itu
sendiri adalah rumah bagan, daun bagan, penggiling, tali-tali, lampu dan serok.
Rumah bagan merupakan rumah yang dibuat diatas bagan untuk tempat istirahat
nelayan. Dalam rumah bagan biasanya digunakan juga sebagai tempat penyimpanan
bahan bakar minyak untuk lampu petromaks (Naryo, 1985).
Menurut Subani dan Barus (1989), daun bagan terbuat dari waring plastik,
berbentuk seperti kantong besar yang keempat sisinya diikatkan pada bambu.
Penggilingan merupakan bambu yang digunakan untuk menarik dan menggulingkan
tali jaring. Tali-tali merupakan bagian penting pada bagan untuk mrnunjang
operasi penangkapan. Lampu disini digunakan sebagai perangsang atau penarik ikan
saat pengoperasian. Sedangkan serok digunakan untuk mengambil hasil tangkapan
saat jaring dinaikkan.
Menurut Mulyono (1986), hasil tangkapan yang umumnya tertangkap dengan alat
tangkap bagan ini adalah jenis-jenis ikan pelagis yang umumya bergerak cepat
dan berada di permukaan. Misalnya, ikan teri, tembang, ikan terbang, jambrung,
cumi dan udang.
4.1.2. Klasifikasi Bagan
Menurut Sudirman dan Achmar Mallawa (2000), klasifikasi bagan ada 3,
yaitu :
1. Bagan Tancap
Bagan tancap merupakan rangkaian atau susunan bambu
berbentuk persegi empat yang di tancapkan sehingga berdiri kokoh di atas
perairan, dimana pada tengah bangunan tersebut dipasang jaring. Dengan kata
lain, alat tangkap ini bersifat inmobile. Hal ini karena alat tangkap tersebut
ditancapkan pada dasar perairan, yang berarti kedalaman laut tempat beropesinya
alat ini menjadi sangat terbatas yaitu pada perairan dangkal.
2. Bagan Rakit
Jenis bagan lain yang sangat sederhana dan biasa
digunakan oleh nelayan khususnya di sungai atau muara-muara sungai yaitu
sebagai rakit. Bagan ini terbuat dari bambu, dimana operasinya
berpindah-pindah. Proses operasi penangkapannya sama dengan bagan tancap.
3. Bagan Perahu (Bagan Rambo)
Bagan ini disebut pula sebagai bagan perahu listrik.
Ukurannya bervariasi tetapi di Sulawesi Selatan umumnya menggunakan jaring
dengan panjang total 45 m dan lebar 45 m, berbentuk segi empat bujur sangkar
dengan ukuran mata jaring 0,5 cm dan bahannya terbuat dari waring. Dalam
pengoperasiannya bagan ini dilengkapi dengan perahu motor yang berfungsi untuk
menggandeng bagan rambo menuju daerah penangkapan. Selain itu, bagan tersebut
berfungsi sebagai pengangkut hasil tangkapan dari fishing ground ke fishing
base.
4.2. Teknik
Pengoperasian Bagan Tancap
Pengoperasian bagan tancap biasanya dilakukan pada malam hari, dimana cara
pengoperasiannya memanfaatkan sifat ikan yaitu fototaksis positif (peka
terhadap rangsang cahaya). Dengan menggunakan cahaya sinar petromak yang
sengaja di pasang pada bagan tancap, dapat merangsang ikan untuk mendekati arah
cahaya tersebut. Sehingga nelayan dapat memperoleh ikan dengan memanfaatkan
sifat ikan tersebut.
Adapun teknik pengoperasiannya sebagai berikut :
· Terlebih dahulu
nelayan mempersiapkan perlengkapan yang akan di pergunakan dalam operasi
penangkapan. Perlengkapan tersebut dapat berupa ; perbekalan pribadi nelayan,
beberapa lampu pompa lengkap dengan cadangannya (kaos lampu, minyak tanah ,
serta korek api), kapal dan perlengkapan yang di butuhkan lainnya.
· Sebaiknya
sebelum matahari terbenam, dengan mempergunakan perahu nelayan telah
meninggalkan daratan untuk menuju ke bagan. Setelah tiba di bagan, nelayan
menambatkan perahunya pada salah satu tiang bagan. kemudian nelayan dapat
membawa seluruh perlengkapan yang diperlukan ke atas bagan.
· Setelah sampai
diatas bagan, jaring bagan kemudian diturunkan kedalam air. Lalu menyalakan
beberapa (3 – 4 buah) lampu pompa, dan menurunkan tali lampu pompa tersebut
hingga mendekati permukaan air.
·
Melakukan
persiapan perendaman jaring (setting) kurang lebih selama 2 menit.
·
Merendam
jaring beberapa waktu sampai ikan – ikan berkumpul. Diperkirakan lamanya
merendam jaring (immersing) kurang lebih selama 2 jam.
·
Jaring bagan
dapat segera diangkat (hauling), pada saat terdapat banyak ikan yang
berada didalam jaring. Atau pada saat ikan telah mendekat dan berkumpul di
bawah sinar cahaya lampu. Dengan cara memutar batang penggiling atau katrol,
kemudian jaring bagan secara perlahan – lahan naik ke atas sampai kerangka
jaring bagannya terangkat seluruhnya.
·
Melalukan
persiapan penebaran jaring (setting), lama penebaran jaring (immersing)
dan penarikan jaring (hauling) pada masing-masing bagan.
· Pada bagan 1 saat penebaran jaring
atau setting memerlukan waktu 2 menit. Lama penebaran
jaring atau immersing 1 ½ jam dan penarikan jaring atau hauling memerlukan
waktu 3 menit.
·
Pada bagan 2 diperlukan waktu saat setting adalah 43 detik. Lama
penebaran jaring atau immersing berkisar antara 1 hingga 1 ½ jam. Dan waktu penarikan jaring atau hauling
memerlukan waktu 5 menit.
·
Bagan 3
memerlukan waktu untuk menebar jaring atau setting 1 menit 28 detik.
Lama waktu penebaran jaring atau immersing 2 jam dan waktu penarikan
jaring atau hauling sekitar 3 menit.
· Bagan 4
memerlukan waktu untuk menebar jaring atau setting 2 menit. Lama waktu
penebaran jaring atau immersing 2 jam dan waktu penarikan jaring atau hauling
sekitar 4 menit.
· Jaring bagan
dapat segera diangkat, pada saat terdapat banyak ikan yang berada didalam
jaring. Atau pada saat ikan telah mendekat dan berkumpul di bawah sinar cahaya
lampu. Dengan cara memutar batang penggiling atau katrol, kemudian jaring bagan
secara perlahan – lahan naik ke atas sampai kerangka jaring bagannya terangkat
seluruhnya.
Dilihat dari
penjelasan tersebut, waktu yang dibutuhkan untuk penarikan jaring atau hauling
dengan waktu yang dibutuhkan untuk setting atau penebaran jaring lebih lama.
Hal ini dikarenakan saat penarikan jaring, terasa lebih berat karena ada muatan
dan air dalam jaring tersebut sehingga lebih berat dan lebih lama untuk mengangkatnya.
3.1. Pengertian Umum dan Klasifikasi Perawai dan
Tuna Longline
Perawai dan
tuna longline adalah suatu jenis pancing. Pancing merupakan salah satu
jenis alat tangkap yang umum dikenal oleh masyarakat, terlebih dikalangan
nelayan. Pada prinsipnya pancing ini terdiri dari dua komponen utama, yaitu
“tali” (line) dan “mata pancing” (hook). Tali pancing biasa
dibuat dari bahan benang katun, nilon, polyethilin, plastik (senar), dan
lain-lain. Mata pancingnya dibuat dari kawat baja, kuningan atau bahan lain
yang tahan karat. Mata pancing tersebut umumnya ujungnya berkait balik, namun
ada juga yang tanpa kait balik. Jumlah mata pancing yang terdapat pada tiap
perangkat (satuan) pancing itu bisa tunggal maupun ganda (dua-tiga buah) bahkan
banyak sekali (ratusan sampai ribuan) tergantung dari jenis pancingnya. Ukuran
mata pancing bervariasi, disesuaikan dengan besar kecilnya ikan yang akan
ditangkap (Subani, 1989).
3.1.1.
Pengertian umum dan klasifikasi perawai
3.1.1.1.
pengertian umum perawai
Menurut Sadhori
(1985), perawai merupakan salah satu alat
penangkap ikan yang terdiri dari rangkaian tali-temali yang bercabang-cabang
dan pada tiap-tiap ujung cabangnya dikaitkan sebuah pancing. Secara teknis
operasional rawai termasuk dalam jenis perangkap, karena dalam operasionalnya
tiap-tiap pancing diberi umpan yang tujuanya untuk menarik ikan sehingga ikan
memakan umpan tersebut dan terkait oleh pancing. Secara material ada yang
mengklasifikasikan rawai termasuk dalam golongan penangkapan ikan dengan tali line
fishing karena bahan utama untuk rawai ini terdiri dari tali-temali.
Alat penangkapan ikan ini disebut
rawai karena bentuk alat sewaktu dioperasikan adalah rawe-rawe (rawe = bahasa
Jawa) yang berarti sesuatu yang ujungnya bergerak bebas. Rawai disebut juga
dengan longline yang secara harfiah dapat diartikan dengan tali panjang.
Alat ini konstruksinya berbentuk rangkaian tali-temali yang disambung-sambung
sehingga merupakan tali yang panjang dengan beratus-ratus tali cabang (Sadhori,
1985).
Menurut Mulyono (1986), Perawai
terdiri dari sejumlah mata kail yang di pasangkan pada panjangnya tali yang
mendatar. Tali yang mendatar ini merupakan tali pokok atau utama (main line)
dari suatu rangkaian pancing-pancing perawai. Pada tali utama terdapat
tali-tali pendek yang disebut tali cabang (branch line). Menurut bentuk,
sasaran dan cara penangkapannya perawai termasuk dalam jenis “Bottom
Set Longline“. Cara penangkapannya pancing ini dilepas atau dilabuhkan
sampai posisinya dapat mendasar.
3.1.1.2. klasifikasi perawai
Menurut Sadhori (1985), ada berbagai
macam bentuk rawai yang secara keseluruhan dapat dikelompokkan dalam
berbagai kelompok antara lain :
1. Berdasarkan letak pemasangannya di
perairan rawai dapat dibagi menjadi :
a.
Rawai
permukaan (Surface longline);
b. Rawai pertengahan (Midwater
longline);
c.
Rawai dasar
(Bottom longline).
2. Berdasarkan susunan mata pancing
pada tali utama :
a.
Rawai tegak
(Vertikal longline);
b. Pancing ladung;
c.
Rawai
mendatar (Horizontal longline).
3. Berdasarkan jenis-jenis ikan yang
banyak tertangkap :
a.
Rawai Tuna (Tuna
longline);
b. Rawai Albacore (Albacore longline);
c.
Rawai Cucut
(Shark longline), dan sebagainya.
Perawai terdiri dari sejumlah mata
kail yang di pasangkan pada panjangnya tali yang mendatar. Tali yang mendatar
ini merupakan tali pokok atau utama (main line) dari suatu rangkaian
pancing-pancing perawai. Tali utama terdapat tali-tali pendek yang disebut tali
cabang (branch line). Menurut bentuk, sasaran dan cara penangkapannya
perawai termasuk dalam jenis “Bottom Set Longline“. Cara
penangkapannya pancing ini dilepas atau dilabuhkan sampai posisinya dapat
mendasar (Mulyono, 1986).
Menurut Sadhori (1985), persyaratan
daerah operasi perawai yaitu :
1. Pantai yang keadaannya landai;
2. Kedalamanya merata;
3. Bersih dari tonggak atau kerangka
kapal yang rusak;
4. Terhindar dari kesibukan lalu-lintas.
3.1.2.
Pengertian umum dan klasifikasi tuna longline
3.1.2.1.
pengertian umum tuna longline
Ada beberapa
jenis alat tangkap longline. Ada yang dipasang di dasar perairan secara
tetap dalam jangka waktu tertentu dikenal dengan nama rawai tetap atau bottom
longline. atau set longline yang biasanya digunakan untuk menangkap
ikan-ikan demersal. Ada juga rawai yang hanyut yang biasa disebut dengan drift
longline, biasanya untuk menangkap ikan-ikan pelagis. Paling terkenal
adalah tuna longline atau disebut dengan rawai tuna (Ayodhyoa,1975).
Tuna longline merupakan bagian dari rawai yang didasarkan
atas jenis ikan yang ditangkap, yaitu ikan tuna. Tuna longline atau yang
disebut dengan rawai tuna merupakan jenis rawai yang paling terkenal.
Kenyataanya bahwa hasil tangkapannya bukan hanya ikan Tuna, tetapi juga
berbagai jenis ikan lain seperti ikan Layaran, ikan Hiu dan lain-lain
(Sudirman, 2004).
Pada
prinsipnya ”rawai tuna” terdiri dari komponen-komponen utama yang biasanya
terdiri dari : tali utama (main line), tali cabang (tali pancing, branch
line) berikut bagian-bagiannya, yaitu : tali pelampung (float line)
berikut pelampungnya, batu pemberat dan tali penyambungnya (Subani, 1989).
3.1.2.2.
klasifikasi tuna longline
Dilihat dari segi kedalaman operasi (fishing depth) tuna longline
dibagi dua yaitu :
1.
Tuna longline pada perairan yang bersifat dangkal
(subsurface). Pada tuna longline jenis ini dalam satu basket rawai
diberi sekitar 5 pancing;
2.
Tuna longline
pada perairan yang bersifat dalam (Deep). Pada tuna longline
jenis ini dalam satu basket rawai diberi sekitar 11 - 13 pancing sehingga
lengkungan tali utama menjadi lebih dalam.
Menurut Mulyono (1986), jenis ikan
yang menjadi sasaran/tujuan penangkapan adalah untuk penangkapan ikan tuna.
Ikan tuna termasuk ikan pelagis-oceanis, artinya ikan pelagis lepas pantai yang
bila sudah mendekati mencapai kedewasaannya menurut hasil-hasil penelitian
tempat kehidupannya dari dekat permukaan berpindah ke lapisan yang lebih dalam,
sehingga alat-alat penangkapan yang dioperasikan di dekat permukaan tidak akan
pernah memperoleh ikan tersebut.
3.2.
Teknik Pengoperasian Perawai dan Tuna Longline
3.2.1.
Teknik pengoperasian perawai
Penangkapan dengan mengopersikan
perawai dapat dilaksanakan pada waktu siang atau malam hari. Teknik
pengoperasian perawai adalah sebagai berikut :
1.
Perahu tiba
pada lokasi fishing ground;
2.
Mula-mula
pengapung pertama diikat dengan talinya begitu pula batu
pemberatnya;
3.
Perahu
dijalankan secara perlahan, sementara pancing demi pancing dilemparkan kedalam
air setelah terlebih dahulu pada masing-masing mata pancing di beri umpan
berupa ikan segar yang dipotong-potong;
4.
Tali cabang
diikatkan pada tali utama;
5.
Sementara perahu
masih tetap berjalan, tali cabang di ulur sampai panjang yang dibutuhkan,
setelah itu kapal atau perahu dapat dihentikan;
6.
Rangkaian
pancing oleh nelayan dibiarkan hanyut oleh arus dan angin, lamanya tidak
ditentukan oleh waktu dan hauling (Penarikan);
7.
Hauling dilakukan dengan cara :
a.
Tali cabang
perlahan-lahan di tarik kedalam perahu, setelah penarikannya sampai pada
pelampung, untuk penarikan selanjutnya dilakukan dengan cara menarik tali
utama;
b.
Ikan-ikan
yang tertangkap dilepaskan dari kaitnya, mata-mata pancing yang umpannya telah
tanggal, segera di gantikan yang baru.
8. Begitulah
seterusnya hingga penarikan alat selesai.
3.2.2.
Teknik pengoperasian tuna longline
Teknik pengoperasian tuna longline tidak jauh beda dengan perawai
adalah sebagai berikut :
1.
Mula-mula
kita siapkan semua peralatan yang telah disiapkan dan tiba pada suatu fishing
ground yang telah ditentukan;
2.
Setting diawali dengan penurunan pelampung
bendera dan penebaran tali utama, selanjutnya dengan penebaran pancing yang
telah dipasang umpan. Rata-rata waktu yang dipergunakan untuk melepas pancing
0,6 menit per pancing. Pelepasan dilakukan menurut garis yang menyerong atau
tegak lurus. Waktu melepas pancing biasanya waktu tengah malam, sehingga
pancing telah terpasang waktu pagi saat ikan sedang giat mencari mangsa;
3.
Penarikan
alat tangkap dilakukan jika telah berada dalam air selama 3 - 6 jam. Penarikan
dilakukan dengan menggunakan line hauler yang diatur kecepatannya. Lama
penarikan alat tangkap sangat ditentukan oleh banyaknya hasil tangkapan dan
cuaca. Penarikan biasanya memakan waktu 3 menit per pancing.
2.1.
Pengertian Gill Net
Gill net atau sering
disebut juga sebagai “jaring insang”. Istilah gill net di dasarkan
pada pemikiran bahwa ikan-ikan yang tertangkap “gill net” terjerat di
sekitar operculumnya pada mata jaring. Dalam bahasa jepang, gill net
disebut dengan istilah “sasi ami”, yang berdasarkan pemikiran bahwa
tertangkapnya ikan-ikan pada gill net, ialah dengan proses bahwa
ikan-ikan tersebut “menusukkan diri-sasu” pada “jaring-ami”. Di indonesia,
penanaman gill net ini ber aneka ragam, ada yang menyebutnya berdasarkan
jenis ikan yang tertangkap (jaring karo, jaring udang, dan sebagainya), ada
pula yang disertai dengan nama tempat (jaring udang bayeman), dan sebagainya
(Ayodhyoa, 1981).
Pengertian dari jaring insang (gill net) yang umum berlaku di
Indonesia adalah satu jenis alat penangkap ikan dari bahan jaring yang
bentuknya empat persegi panjang dimana mata jaring dari bagian utama ukurannya
sama, jumlah mata jaring ke arah panjang atau ke arah horisontal (Mesh
Length (ML)) jauh lebih banyak dari pada jumlah mata jaring ke arah
vertikal atau ke arah dalam (Mesh Dept (MD)), pada bagian atasnya
dilengkapi dengan beberapa pelampung (floats) dan di bagian bawah dilengkapi
dengan beberapa pemberat (sinkers) sehingga dengan adanya dua gaya yang
berlawanan memungkinkan jaring insang dapat dipasang di daerah penangkapan
dalam keadaan tegak (Sadhori, 1985).
Warna jaring pada gill net harus disesuaikan dengan warna perairan
tempat gill net dioperasikan, kadang dipergunakan bahan yang transparan
seperti monofilament agar jaring tersebut tidak dapat dilihat oleh ikan
bila dipasang diperairan (Sadhori, 1985).
2.2.
Klasifikasi Gill Net
Menurut Sudirman, (2004) berdasarkan kontruksinya, jaring insang
dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu berdasarkan jumlah lembar jaring utama dan
cara pemasangan tali ris. Klasifikasi berdasarkan jumlah lembar jaring utama
ialah sebagai berikut:
1.
Jaring insang satu lembar (Single Gill Net)
Jaring insang satu lembar adalah jaring insang yang jaring utamanya terdiri
dari hanya satu jaaring, tinggi jaring ke arah dalam atau mesh depth
dan ke arah panjang atau mesh length disesuaikan dengan target
tangkapan, daerah penangkapan, dan metode pengoperasian.
2.
Jaring insang double lembar (Double Gill Net atau Semi Trammel Net)
Jaring insang dua lembar adalah jaring insang yang jaring utamanya terdiri
dari dua lembar jaring, ukuran mata jaring dan tinggi jaring dari masing-masing
lembar jaring, bisa sama atau berbeda antara satu dengan yang lainnya.
3.
Jaring insang tiga lembar (Trammel Net)
Jaring insang tiga lembar adalah jaring insang yang jaring utamanya terdiri
dari tiga lembar jaring, yaitu dua lembar jaring bagian luar (outter net)
dan satu lembar jaring bagian dalam (inner net).
Sedangkan menurut Sadhori (1985), berdasarkan kontruksi dari cara
pemasangan tali ris, jaring insang dibagi ke dalam 4 (empat) jenis yaitu:
1.
Pemasangan jaring utama bagian atas dengan tali ris atas dan jaring utama
bagian bawah dengan tali ris bawah disambungkan secara langsung.
2.
Jaring utama bagian atas disambungkan secara langsung dengan tali ris atas dan
bagian jaring utama bagian bawah disambungkan melalui tali penggantung (hanging
twine) dengan tali ris bawah.
3.
Pemasangan jaring utama bagian atas dengan tali ris atas disambungkan melalui
tali penggantung dan bagian bawah dari jaring utama disambungkan secara
langsung dengan tali ris bawah.
4.
Jaring utama bagian atas dengan tali ris atas dan bagian jaring utama bagian
bawah dengan tali ris bawah disambungkan melalui tali penggantung.
Penamaan gill net berdasarkan cara operasi ataupun kedudukan jaring
dalam perairan maka Ayodhyoa (1981))membedakan antara:
1. Surface Gill Net
Pada salah satu ujung jaring ataupun pada kedua ujungnya diikatkan tali
jangkar, sehingga letak (posisi) jaring jadi tertentu oleh letak jangkar.
Beberapa piece digabungkan menjadi satu, dan jumlah piece harus
disesuaikan dengan keadaan fishing ground. Float line (tali
pelampung, tali ris atas) akan berada di permukaan air (sea surface).
Dengan begitu arah rentangan dengan arah arus, angin dan sebagainya akan dapat
terlihat.
Gerakan turun naik dari gelombang akan menyebabkan pula gerakan turun naik
dari pelampung, kemudian gerakan ini akan ditularkan ke tubuh jaring. Jika
irama gerakan ini tidak seimbang, juga tension yang disebabkan float
line juga besar, ditambah oleh pengaruh-pengaruh lainnya. Kemungkinan akan
terjadi peristiwa the rolling up of gill net yaitu peristiwa dimana
tubuh jaring tidak lagi terentang lebar, jaring tidak berfungsi lagi sebagai
penghalang/penjerat ikan.
2. Bottom Gill Net
Pada kedua ujung jaring diikatkan jangkar, sehingga letak jaring akan
tertentu. Hal ini sering disebut set bottom gill net. Jaring ini
direntangkan dekat dengan dasar laut, sehingga dinamakan bottom gill net,
berarti jenis-jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan ialah ikan-ikan dasar
(bottom fish) ataupun ikan-ikan demersal. Posisi jaring dapat
diperkirakan pada float berbendera/bertanda yang diletakkan pada kedua
belah pihak ujung jaring.
Pada umumnya yang menjadi fishing ground adalah daerah pantai,
teluk, muara yang mengakibatkan pula jenis ikan yang tertangkap dapat berbagai
jenis, misalnya hering, cod, flat fish, halbut, mackerel,
yellow tail, sea bream, udang, lobster dan sebagainya.
3. Drift Gill Net
Sering juga disebut dengan drift net saja, atau ada juga yang memberi nama
lebih jelas misalnya ”salmon drift gill net”, atau ”salmon drift
trammel net”, dan ada pula yang menerjemahkannya ”jaring hanyut”.
Posisi jaring ini tidak ditentukan oleh adanya jangkar, tetapi bergerak
hanyut bebas mengikuti arah gerakan arus. Pada satu pihak dari ujung jaring diletakkan
tali, dan tali ini dihubungkan dengan kapal, gerakan hanyut dari kapal sedikit
banyak juga dapat mempengaruhi posisi jaring. Selain dari gaya-gaya arus,
gelombang, maka kekuatan angin juga akan mempengaruhi keadaan hanyut jaring.
Drift gill net juga dapat digunakan untuk
mengejar gerombolan ikan, dan merupakan alat penangkap yang penting untuk
perikanan laut bebas. Karena posisinya tidak ditentukan oleh jangkar, maka
pengaruh dari kekuatan arus terhadap tubuh jaring dapat diabaikan. Gerakan jaring
bersamaan dengan gerakan arus sehingga besarnya tahanan dari jaring terhadap
arus dapat diabaikan.
Ikan-ikan yang menjadi tujuan penangkapan antara lain saury, mackarel,
flying fish, skip jack, tuna, salmon, hering, dan lain-lain.
4. Encircling Gill Net atau Surrounding Gill Net
Gerombolan ikan dilingkari dengan jaring, antara lain digunakan untuk
menghadang arah lari ikan. Supaya gerombolan ikan dapat dilingkari/ditangkap
dengan sempurna, maka bentuk jaring sewaktu operasi ada yang berbentuk
lingkaran, setengah lingkaran, bentuk huruf V atau U, bengkok-bengkok seperti
alun gerombolan dan masih banyak jenisnya lagi.
Ikan setelah
terkurung dalam lingkaran jaring, dikejuti, sehingga ikan-ikan akan terjerat
pada mata jaring. Tinggi jaring diusahakan sesuai dengan kedalaman perairan.
Oleh sebab itu pada saat operasi keadaan pasang/surut perlulah diperhatikan.
Alat tangkap ini juga banyak digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan-ikan
yang hidup di perairan karang, yaitu dengan memasang alat tangkap di sekitar
atau melingkari karang.
Pada praktikum laut Metode Penangkapan Ikan, apabila dilihat dari
ciri-cirinya, gill net yang digunakan oleh kelompok kami adalah termasuk
jenis surface gill net. Gill net yang digunakan yaitu
dengan keadaan yang hanyut di perairan, karena jaring insang yang berada pada
permukaan air dengan bantuan oleh sejumlah pelampung, sehingga jaring ini
hanyut bersama arus terpisah dari atau lebih sering bersama perahu yang
memegang salah satu ujungnya.
2.3.
Metode dan Cara Pengoperasian Gill Net
2.3.1.
Metode dan cara pengoperasian gill net
Sebelum operasi penangkapan di mulai, semua peralatan dan perbekalan yang
diperlukan untuk menangkap ikan dengan menggunakan gill net harus dipersiapkan
dengan teliti. Jaring harus disusun di atas kapal dengan memisahkan antara
pemberat dan pelampung supaya mudah menurunkannya dan tidak kusut. Metode
operasi penangkapan ikan dengan menggunakan gill net dibagi menjadi tiga tahap,
yaitu “setting”, “immersing”, dan “hauling” (Sadhori,
1985).
1. Lama penebaran jaring “setting”
Bila kapal telah mencapai di daerah
penangkapan, segera persiapan penebaran jaring dimulai.
a.
Mula–mula
posisi kapal ditempatkan sedemikian rupa agar arah angin datangnya dari tempat
penurunan jaring.
b. Setelah kedudukan atau posisi kapal
sesuai dengan yang dikehendaki, jaring dapat diturunkan. Penurunan jaring
dimulai dari penurunan pelampung tanda ujung jaring atau lampu kemudian tali
selambar depan, lalu jaring dan yang terakhir kali selambar pada ujung akhir
jaring atau selambar belakang yang biasanya terus di ikatkan pada kapal.
c.
Pada waktu
penurunan jaring yang harus diperhatikan adalah arah arus laut, karena
kedudukan jaring yang paling baik adalah memotong arus antara 450-900.
2. Lama perendaman jaring “immersing”
Gill net didiamkan terendam dalam perairan sampai
kira–kira selama 3–5 jam.
3. Lama penarikan jaring “hauling”
Setelah jaring dibiarkan di dalam
perairan selama ± 3–5 jam, jaring dapat di angkat (dinaikkan) ke atas kapal
untuk diambil ikannya. Urutan penarikan jaring ini merupakan kebalikan dari
urutan penebaran jaring, yaitu dimulai dari tali selambar belakang, baru
jaring, tali selambar muka, dan terakhir pelampung tanda. Penangkapan ikan
dengan menggunakan alat tangkap gill net umumnya dilakukan pada waktu
malam hari (Waluyo, 1972).
Spesies ikan sasaran dari alat
tangkap gill net adalah tetengkek (Megalacpis cordyla), ikan terbang (Cypselurus
sp), ikan belanak (Mugil sp), ikan kuro (Polynemus sp), ikan
alu–alu (Sphyraena sp), ikan tenggiri (Scromberomorus commersoni),
dan lain-lain.
2.4.
Konstruksi Gill Net
2.4.1.
Konstruksi gill net
Ayodhyoa (1974) menyatakan bahwa pada konstruksi umum, yang disebutkan
dengan gill net ialah jaring yang berbentuk persegi panjang yang
mempunyai mata jaring yang sama ukurannya pada seluruh jaring, lebar jaring
lebih pendek jika dibandingkan dengan panjangnya, dengan kata lain, jumlah mezh
depth lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah mezh size pada arah panjang
jaring. Pada lembaran-lembaran jaring, pada bagian atas dilekatkan pelampung (float)
dan pada bagian bawah diletakkan pemberat (sinker). Dengan menggunakan
gaya yang berlawanan arah, yaitu bouyancy dari float yang
bergerak menuju ke atas dan sinking force dari sinker diditambah
dengan berat jaring di dalam air yang bergerak menuju ke bawah, maka jaring
akan terlentang. Detail konstruksi, kedua ujung jaring diikatkan pemberat.
Posisi jaring dapat diperkirakan pada float berbendera atau bertanda
yang dilekatkan pada kedua belah pihak ujung jaring. Karakteristik, gill net
berbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan pelampung yang
terbuat dari plastik, pemberat pemberat yang terbuat dari timah, tali ris atas
dan tali ris bawah yang bahannya terbuat dari plastik. Besarnya mata jaring
bervariasi tergantung sasaran yang akan ditangkap baik udang maupun ikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar