PROPOSAL
ANALISIS STRUKTUR DAN KOMPOSISI
EKOSISTEM MANGROVE DI PESISIR KOTA TARAKAN
OLEH :
Nama : Kristoper
NPM : 08.101020.004
Prodi : Manajemen Sumberdaya Perairan
|
FAKULTAS PERIKANAN
DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BORNEO
TARAKAN
2011
BAB. I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Wilayah pesisir
yang merupakan sumber daya potensial di Indonesia, yang merupakan suatu wilayah
peralihan antara daratan dan lautan. Sumberdaya ini sangat besar yang didukung
oleh adanya garis pantai sepanjang sekitar 81.000 km (Dahuri et al. 2001).
Garis pantai yang panjang ini menyimpan potensi kekayaan sumber alam yang
besar. Potensi itu diantaranya potensi hayati dan non hayati. Potensi hayati
misalnya: perikanan, hutan mangrove, dan terumbu karang, sedangkan potensi
nonhayati misalnya: mineral dan bahan tambang serta pariwisata.
Indonesia merupakan
negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar 17.500 pulau, sehingga negara
kita memiliki potensi sumber daya wilayah pesisir laut yang besar. Ekosistem
pesisir laut merupakan sumber daya alam yang produktif sebagai penyedia energi
bagi kehidupan komunitas di dalamnya. Selain itu ekosistem pesisir dan laut
mempunyai potensi sebagai sumber bahan pangan, pertambangan dan mineral,
energi, kawasan rekreasi dan pariwista. Hal ini menunjukkan bahwa ekosistem
pesisir dan laut merupakan aset yang tak ternilai harganya di masa yang akan
datang. Ekosistem pesisir dan laut meliputi estuaria, hutan mangrove, padang
lamun, terumbu karang, ekosistem pantai dan ekosistem pulau-pulau kecil.
Komponen-komponen yang menyusun ekosistem pesisir dan laut tersebut perlu
dijaga dan dilestarikan karena menyimpan sumber keanekaragaman hayati dan
plasma nutfah. Salah satu komponen ekosistem pesisir dan laut adalah hutan
mangrove.
Kota Tarakan
merupakan suatu pulau yang terletak pada bagian utara Propinsi Kalimantan Timur
yang memiliki luas daerah 657.33 km2 (65.733 ha) yang terdiri dari
luas daratan 250.80 km2 (25.080 ha) dan lautan seluas 406.53 km2
(40.653 ha) (UU No.29 Tahun 1997 dan Peraturan Daerah No.23 Tahun 1999). Pulau
Tarakan merupakan pulau yang memiliki garis pantai dan menyimpan potensi
kekayaan sumber alam yang besar. Salah satu potensi pesisir tersebut adalah
hutan mangrove.
Secara topografi
pulau daratan kota Tarakan termasuk dalam kelompok pulau alluvium. Pulau
alluvium umumnya terbentuk didataran pantai yang landai sebuah pulau atau
didepan muara-muara sungai besar, dimana laju pengendapan sedimen lebih tinggi
dibandingkan dengan laju erosi oleh arus dan gelombang laut. Potensi penyebaran
air tanah ditemukan pada ekuifer pasir di alur sungai atau di pasir sempadan
pantai dan dipengaruhi oleh perubahan musim. Sendimen pulau alluvium sebagian
terbentuk oleh endapan sendimen klasik kasar dan sebagian berpasir dan lempung
serta ada juga yang bergambut dan biasa terdapat alur sungai kecil, dengan
tumbuhan nipah dan mangrove terlihat mendominasi. (Bengen et al.,2006).
Mangrove adalah
vegetasi hutan yang tumbuh dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut, sehingga
lantainya selalu tergenang air. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena
merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut.
Kata mangrove adalah kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris
grove. Adapun dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan untuk menunjuk
komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang–surut maupun untuk
individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Sedangkan
dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies
tumbuhan, sedangkan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut.
Nybakken (1988) mengatakan bahwa hutan mangrove adalah sebutan umum yang
digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropic yang didominasi
oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan
untuk tumbuh dalam perairan asin. Mangrove tumbuh disepanjang garis pantai
tropis sampai sub tropis.
Dari sekian banyak
jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang banyak ditemukan antara lain
adalah jenis api-api (Avicennia sp), bakau (Rhizophora sp), tancang (Bruguiera
sp), dan bogem atau pedada (Sonneratia sp), merupakan tumbuhan mangrove utama
yang banyak dijumpai. Jenis-jenis mangrove tersebut adalah kelompok mangrove
yang menangkap, menahan endapan dan menstabilkan tanah habitatnya. Fauna
mangrove hampir mewakili semua phylum, meliputi protozoa sederhana sampai
burung, reptilia dan mamalia. Secara
garis besar fauna mangrove dapat dibedakan atas fauna darat (terrestrial),
fauna air tawar dan fauna laut. Fauna
darat, misalnya kera ekor panjang (Macaca spp.), Biawak (Varanus salvator),
berbagai jenis burung, dan lain-lain.
Sedangkan fauna laut didominasi oleh Mollusca dan Crustaceae. Golongan Mollusca umunya didominasi oleh Gastropoda,
sedangkan golongan Crustaceae didominasi oleh Bracyura.
Hutan mangrove
merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir.
Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan,
tempat pemijahan dan asuhan bagi bermacam biota, penahan abrasi, penahan amukan
angin taufan, dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan lain
sebagainya, hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis seperti penyedia
kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat obatan, dan lain-lain.
Menurut Dahuri, et al.,(2001), secara umum mangrove
cukup tahan terhadap berbagai gangguan dan tekanan lingkungan. Namun demikian,
permasalahan utama tentang pengaruh atau tekanan terhadap habitat mangrove
berasal dari keinginan manusia untuk mengkonversi area hutan mangrove menjadi
areal pemukiman, tambak dan pertanian. Selain itu, meningkatnya permintaan
terhadap produksi kayu menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan
mangrove. Jika eksploitasi berlangsung
terus menerus, dapat menyebabkan kematian dan berkurangnya luas hutan mangrove di pesisir kota Tarakan.
Pemanfaatan
mangrove di pesisir kota Tarakan hingga saat ini berlangsung secara berlebihan
tanpa memperhatikan keseimbangan biologis dan ekologisnya. Sehingga dalam
jangka panjang dikhawatirkan akan terjadi kerusakan ekosistem mangrove di
wilayah pesisir. Informasi dasar mengenai data ekologis mangrove merupakan
salah satu kebutuhan yang dapat mendukung perencanaan dan pengelolaan yang
berkelanjutan. Untuk itu perlu diadakan penelitian mengenai mangrove
di Pesisir kota Tarakan untuk menjamin kelestarian mangrove
tersebut sehingga manfaat ekologis dan ekonomis pentingnya tetap terjaga.
B.
Perumusan Masalah
Meningkatnya jumlah
penduduk dan aktivitas pembangunan yang terjadi di wilayah kota Tarakan,
terutama yang terkonsentrasi di wilayah pesisir, cenderung untuk mendorong
eksploitasi sumberdaya pesisir terutama mangove. Melalui kegiatan yang
berlangsung di ekosistem mangrove, untuk itu di perlukan suatu sistem
pengelolaan yang bijaksana untuk menjamin kelestarian mangrove tersebut sehingga
manfaat ekologis dan ekonomis pentingnya tetap terjaga.
Ekosistem mangrove
yang ada di kota Tarakan selayaknya dipertahankan keberadaannya dan
kualitasnya, sehingga pengelolaannya harus dilakukan secara bijak dan ramah
lingkungan dengan memperhatikan keseimbangan ekologisnya. Suatu perencanaan dan
pengelolaan secara berkelanjutan diperlukan untuk dapat mempertahankan
keberadaan dan kualitas ekosistem mangrove di pesisir kota tarakan. Informasi
dasar mengenai data ekologis mangrove merupakan salah satu kebutuhan yang dapat
mendukung perencanaan dan pengelolaan yang berkelanjutan. Sehingga ruang lingkup
penelitian ini hanya dibatasi oleh :
§ Bagaimana struktur dan komposisi ekosistem mangrove di
pesisir kota Tarakan.
§ Bagaimana potensi dan kondisi ekosistem mangrove di
pesisir kota Tarakan.
C.
Tujuan Penelitian
Adapun penelitian ini bertujuan :
-
Untuk mengetahui
dan menganalisis struktur dan komposisi ekosistem mangrove di pesisir kota
Tarakan.
-
Untuk mengetahui
potensi dan kondisi ekosistem mangrove di pesisir kota Tarakan.
D.
Manfaat Penelitian
Sebagai Informasi dasar mengenai potensi dan kondisi
mangrove serta sebagai bahan pemikiran bagi pemerintah kota Tarakan dalam
mengelolah wilayah pesisir.
E.
Hipotesis
Berdasarkan teori yang ada dan tujuan dari penelitian
ini, maka hipotesis yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah :
-
Struktur ekosistem mangrove dipesisir kota Tarakan masuk
dalam tipe formasi mangrove pantai dan mangrove muara.
-
Permasalahan utama tentang pengaruh atau tekanan terhadap
habitat mangrove berasal dari keinginan manusia untuk mengkonversi area hutan
mangrove menjadi areal pemukiman, tambak dan pertanian. Selain itu,
meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu menyebabkan eksploitasi berlebihan
terhadap hutan mangrove.
BAB. II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Definisi
Mangrove adalah
hutan yang berkembang di daerah pantai yang berair tenang dan terlindung dari
hempasan ombak, serta eksistensinya bergantung adanya aliran air laut dan
aliran sungai. Hutan mangrove tumbuh berbatasan dengan darat pada jangkauan air
pasang tertinggi, sehingga ekosistem ini merupakan daerah transisi yang tentu
eksistensinya juga dipengaruhi oleh faktor-faktor darat dan laut (Pramudji,
2001).
Mangrove merupakan
karakteristik dari bentuk tanaman pantai, estuari atau muara sungai, dan delta
di tempat yang terlindung daerah tropis dan sub tropis. Dengan demikian maka
mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan dan
pada kondisi yang sesuai mangrove akan membentuk hutan yang ekstensif dan
produktif.Karena hidupnya di dekat pantai, mangrove sering juga dinamakan hutan
pantai, hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Istilah bakau itu
sendiri dalam bahasa Indonesia merupakan nama dari salah satu spesies penyusun
hutan mangrove yaitu Rhizophora sp. Sehingga dalam percaturan bidang keilmuan
untuk tidak membuat bias antara bakau dan mangrove maka hutan mangrove sudah
ditetapkan merupakan istilah baku untuk menyebutkan hutan yang memiliki
karakteristik hidup di daerah pantai. Berkaitan
dengan penggunaan istilah mangrove maka menurut FAO (1982) : mangrove adalah
individu jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang
surut. Istilah mangrove merupakan perpaduan dari dua kata yaitu mangue dan
grove. Di Eropa, ahli ekologi menggunakan istilah mangrove untuk menerangkan
individu jenis dan mangal untuk komunitasnya. Hal ini juga dijelaskan oleh
Macnae (1968) yang menyatakan bahwa kata nmangrove seharusnya digunakan untuk
individu pohon sedangkan mangal merupakan komunitas dari beberapa jenis
tumbuhan.
Wilayah mangrove
dicirikan oleh tumbuh-tumbuhan khas mangrove, terutama jenis-jenis Rhizophora,
Bruguiera, Ceriops, Avicennia, Xylocarpus dan Acrostichum (Soerianegara,1993).
Selain itu juga ditemukan jenis-jenis Lumnitzera, Aegiceras, Scyphyphora dan
Nypa (Nybakken, 1986; Soerianegara, 1993). Mangrove mempunyai kecenderungan
membentuk kerapatan dan keragaman struktur tegakan yang berperan penting
sebagai perangkap endapan dan perlindungan terhadap erosi pantai. Sedimen dan
biomassa tumbuhan mempunyai kaitan erat dalam memelihara efisiensi dan berperan
sebagai penyangga antara laut dan daratan, bertanggung jawab atas kapasitasnya
sebagai penyerap energi gelombang dan menghambat intrusi air laut ke daratan.
Selain itu, tumbuhan tingkat tinggi menghasilkan habitat untuk perlindungan
bagi hewan-hewan muda dan permukaannya bermanfaat sebagai substrat perlekatan
dan pertumbuhan dari banyak organisme epifit (Nybakken.1986).
Secara lebih luas dalam
mendefinisikan hutan mangrove sebaiknya memperhatikan keberadaan lingkungannya
termasuk sumberdaya yang ada. Berkaitan dengan hal tersebut maka (Saenger et
al. 1983) mendefinisikan sumberdaya mangrove sebagai :
a.
Exclusive mangrove,
yaitu satu atau lebih jenis pohon atau semak belukar yang hanya tumbuh di
habitat mangrove.
b.
Non exclusive
mangrove, yaitu setiap jenis tumbuhan yang tumbuh di habitat mangrove, dan
keberadaannya tidak terbatas pada habitat mangrove saja.
c.
Biota, yaitu semua
jenis biota yang berasosiasi dengan habitat mangrove.
d. Proses (abrasi, sedimentasi), yaitu setiap proses yang
berperan penting dalam menjaga atau memelihara keberadaan ekosistem mangrove.
Keanekaragaman jenis ekosistem mangrove di Indonesia cukup tinggi.
jika dibandingkan
dengan negara lain di dunia. Jumlah jenis mangrove di Indonesia mencapai 89
yang terdiri dari 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana,
29 jenis epifit, dan 2 jenis parasit (Nontji, 1987). Dari 35 jenis pohon
tersebut, yang umum dijumpai di pesisir pantai adalah Avicennia sp,Sonneratia
sp, Rizophora sp, Bruguiera sp, Xylocarpus sp, Ceriops sp, dan Excocaria sp.
B.
Zonasi Mangrove
Ekosistem mangrove
sangat rumit, karena terdapat banyak faktor yang saling mempengaruhi, baik di
dalam maupun diluar pertumbuhan dan perkembangannya. Berdasarkan tempat
tumbuhnya, kawasan mangrove dibedakan menjadi beberapa zonasi, yang disebut
dengan jenis-jenis vegetasi yang mendominasi (Arief, 2003). Disebutkan oleh
Noor et al., (1999) bahwa vegetasi mangrove secara khas memperlihatkan adanya
pola zonasi.
Zonasi pada
tumbuhan mangrove dapat dilihat sebagai suatu proses suksesi dan merupakan
hasil reaksi ekosistem terhadap kekuatan yang datang dari luar. Kondisi ini
terjadi disebabkan oleh adanya peran dan kemampuan jenis tumbuhan mangrove
dalam beradaptasi dengan lingkungan yang berada di kawasan pesisir (Budiman dan
Suhardjono, 1993 dalam Pramudji, 2001). Zonasi tumbuhan yang membentuk komponen
mangrove dari hasil penelitian, menghasilkan pola bervariasi yang menunjukkan
kondisi lingkungan yang berbeda di setiap lokasi penelitian (Noor et al.,
1999).
Zonasi yang terjadi
di hutan mangrove adalah dipengaruhui oleh beberapa faktor, antara lain adalah
frekuensi genangan, salinitas, dominasi jenis tumbuhan, gerakan air
pasang-surut dan keterbukaan lokasi hutan mangrove terhadap angin dan hempasan
ombak, serta jarak tumbuhan dari garis pantai (Pramudji, 2001).
Daerah yang paling
dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh
Avicenia sp. Pada zona ini biasanya berasosiasi Sonneratia spp, yang dominan
tumbuh pada lumpur dalam. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya
didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp dan
Xylocarpus spp. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. Zona transisi
antara hutan mangrove dengan hutan daratan rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa
fruticans dan beberapa spesies palem lainnya (Bengen, 2002).
Menurut
(Purnobasuki, 2005) struktur ekosistemnya, secara garis besar dikenal tiga tipe
formasi mangrove, yaitu :
a. Mangrove Pantai : Pada tipe ini dipengaruhi air laut
dominan dari air sungai. Struktur horizontal formasi ini dari arah laut ke arah
darat adalah mulai dari tumbuhan pionir (Sonneratia alba), diikuti oleh
komunitas campuran Soneratia alba, Avicennia sp, Rhizophora apiculata,
selanjutnya komunitas murni Rhizophora sp dan akhirnya komunitas campuran
Rhizophora–Bruguiera. Bila genangan berlanjut, akan ditemui komunitas murni
Nypa fructicans di belakang komunitas campuran yang terakhir.
b. Mangrove Muara : Pada tipe ini pengaruh air laut sama
kuat dengan pengaruh air sungai. Mangrove muara dicirikan oleh mintakat tipis
Rhizophora sp. Di tepian alur, di ikuti komunitas campuran Rhizophora –
Bruguiera dan diakhiri komunitas murni Nypa sp.
c. Mangrove sungai : Pada tipe ini pengaruh air sungai lebih
dominan daripada air laut, dan berkembang pada tepian sungai yang relalif jauh
dari muara. Mangrove banyak berasosiasi dengan komunitas daratan.
Berdasarkan Bengen
(2002), jenis-jenis pohon penyusun hutan mangrove, umumnya mangrove di
Indonesia jika dirunut dari arah laut ke arah daratan biasanya dapat dibedakan
menjadi 4 zonasi yaitu sebagai berikut :
1.
Zona Api-api –
Prepat (Avicennia – Sonneratia)
Ø Terletak paling luar/jauh atau terdekat dengan laut,
keadaan tanah berlumpur agak lembek (dangkal),dengan substrat agak berpasir,
sedikit bahan organik dan kadar garam agak tinggi.
Ø Zona ini biasanya didominasi oleh jenis api-api
(Avicennia spp.) dan prepat (Sonneratia spp), dan biasanya berasosiasi dengan
jenis bakau (Rhizophora spp).
2.
Zona Bakau
(Rhizophora)
Ø Biasanya terletak di belakang api-api dan prepat, keadaan
tanah berlumpur lembek (dalam).
Ø Pada umumnya didominasi bakau (Rhizophora spp.) dan di
beberapa tempat dijumpai berasosiasi dengan jenis lain seperti tanjang
(Bruguiera spp.).
3.
Zona Tanjang
(Bruguiera)
Ø Terletak di belakang zona bakau, agak jauh dari laut
dekat dengan daratan. Keadaan berlumpur agak keras, agak jauh dari garis
pantai.
Ø Pada umumnya ditumbuhi jenis tanjang (Bruguiera spp.) dan
di beberapa tempat berasosiasi dengan jenis lain.
4.
Zona Nipah (Nypa
fructicante)
Ø Terletak paling jauh dari laut atau paling dekat ke arah
darat.
Ø Zona ini mengandung air dengan salinitas sangat rendah
dibandingkan zona lainnya, tanahnya keras, kurang dipengaruhi pasang surut dan
kebanyakan berada di tepi-tepi sungai dekat laut.
Ø Pada umumnya ditumbuhi jenis nipah (Nypa fructicante) dan
beberapa spesies palem lainnya.
Faktor-Faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan
mangrove di suatu lokasi :
1.
Fisiografi pantai
Fisiografi
Pantai dapat mempengaruhi komposisi, distribusi spesies
dan lebar hutan mangrove. Pada pantai yang landai, komposisi ekosistem mangrove
lebih beragam jika dibandingkan dengan pantai yang terjal. Hal ini disebabkan
karena pantai landai menyediakan ruang yang lebih luas untuk tumbuhnya mangrove
sehingga distribusi spesies menjadi semakin luas dan lebar. Pada pantai yang
terjal komposisi, distribusi dan lebar hutan mangrove lebih kecil karena kontur
yang terjal menyulitkan pohon mangrove untuk tumbuh. (shantybio, 2007)
2.
Kondisi Substrat (Tanah)
Tanah di mangrove
mempunyai ciri-ciri selalu basah, mangandung garam, kandungan oxygen sedikit,
berbutir-butir dan kaya akan bahan-bahan organik. Bahan organik yang terdapat
dalam tanah terutama berasal dari perombakan sisa tumbuhan yang diproduksi oleh
mangrove itu sendiri. Adanya serasah secara lambat hancur dibawah kondisi
sedikit asam oleh micro-organisme seperti bakteri, jamur dan algae (Soeroyo,
1993).
Selain zat organik
seperti tersebut di atas, tanah mangrove juga terjadi sedimen-sedimen halus
atau partikel-partikel pasir, material kasar seperti potongan-potongan batu dan
koral, pecahan kulit-kulit kerang, telur dan siput. Biasanya tanah-tanah
mangrove kurang membentuk lumpur berlempung dan warnanya bervariasi dari
abu-abu muda sampai hitam. Tanah tersebut terbentuk oleh pengendapan
sedimen-sedimen yang terbawa oleh aliran sungai ditambah oleh material-material
yang dibawa dari laut pada waktu air pasang. Sedimen-sedimen halus dan material
suspensi lain terbawa oleh aliran sungai dapat mengendap di daerah mangrove
disebabkan oleh berkurangnya aliran air (Soeroyo, 1993).
Menurut Nybakken
(1988), berkurangnya aliran air akan berpengaruh nyata terhadap aliran air yang
lambat sehingga menyebakan partikel sedimen yang halus cenderung mengendap dan
mengumpul didasar, yang akan menghasilkan kumpulan lumpur. Jadi substrat pada
rawa mangrove biasanya lumpur. Sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh
dengan baik pada tanah berlumpur, terutama di daerah endapan yang terakumulasi
lumpur (Chapman, 1977 dalam Noor et al.,1999).
Karakteristik tanah
merupakan faktor pembatas utama terhadap pertumbuhan di dalam mangrove,
terutama dalam jenis dan kerapatan tegakan tumbuhan mangrove (Kusmana, 1997
dalam Sukistyanawati, 2002).
3.
Pasang surut
Menurut
Soerianegara (1987 dalam Noor et al., 1999), hutan mangrove adalah hutan yang
tumbuh pada tanah lumpur, daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi
pasang surut air laut.
Pasang surut adalah
peristiwa naik dan turunnya permukaan laut secara periodik selama suatu
interval waktu tertentu yang terjadi karena interaksi antara gaya gravitasi
matahari dan bulan terhadap bumi. Kisaran pasang surut dan tipenya bervariasi
tergantung pada keadaan geografi mangrove. Mangrove berkembang hanya pada
perairan yang dangkal dan daerah intertidal sehingga sangat dipengaruhi oleh
pasang surut (Nybakken, 1988).
Di Indonesia, areal
yang selalu tergenang walupun pada saat pasang rendah umumnya didominasi oleh
Avicennia alba atau Sonneratia alba. Areal yang digenangi oleh pasang sedang
didominasi oleh jenis-jenis Rhizophora spp. Adapun areal yang digenangi hanya
pada saat pasang tinggi (lebih ke daratan), umumnya didominasi oleh jenis-jenis
Bruguiera spp dan Xylocarpus granatum, sedangkan areal yang digenangi hanya
pada saat pasang tertinggi (hanya beberapa hari dalam sebulan) umumnya
didominasi oleh Bruguira sexangula dan Luminitzera littorea (Noor et al.,
1999).
Bila kisaraan
pasang kecil, maka zona intertidal juga terbatas. Kebanyakan hutan-hutan
mangrove yang luas berkembang pada pantai-pantai yang mempunyai kisaran pasang
surut vertikal yang besar (Nybakken, 1988).
4.
Gelombang dan Arus
Gelombang dan arus
dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove. Pada lokasi-lokasi yang
memiliki gelombang dan arus yang cukup besar biasanya hutan mangrove mengalami
abrasi sehingga terjadi pengurangan luasan hutan.
Gelombang dan arus
juga berpengaruh langsung terhadap distribusi spesies misalnya buah atau semai
Rhizophora terbawa gelombang dan arus sampai menemukan substrat yang sesuai
untuk menancap dan akhirnya tumbuh.
Gelombang dan arus
berpengaruh tidak langsung terhadap sedimentasi pantai dan pembentukan
padatan-padatan pasir di muara sungai. Terjadinya sedimentasi dan
padatan-padatan pasir ini merupakan substrat yang baik untuk menunjang
pertumbuhan mangrove.
Gelombang dan arus
mempengaruhi daya tahan organisme akuatik melalui transportasi nutrien-nutrien
penting dari mangrove ke laut. Nutrien-nutrien yang berasal dari hasil
dekomposisi serasah maupun yang berasal dari runoff daratan dan terjebak di
hutan mangrove akan terbawa oleh arus dan gelombang ke laut pada saat surut. (shantybio, 2007)
5. Iklim
Mempengaruhi perkembangan tumbuhan dan perubahan faktor
fisik (substrat dan air). Pengaruh iklim terhadap pertimbuhan mangrove melalui
cahaya, curah hujan, suhu, dan angin. (shantybio, 2007)
Penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut adalah sebagai
berikut:
·
Cahaya
Cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesis,
respirasi, fisiologi, dan struktur fisik mangrove. Intensitas, kualitas, lama
(mangrove adalah tumbuhan long day plants yang membutuhkan intensitas cahaya
yang tinggi sehingga sesuai untuk hidup di daerah tropis) pencahayaan mempengaruhi
pertumbuhan mangrove. Laju pertumbuhan tahunan mangrove yang berada di bawah
naungan sinar matahari lebih kecil dan sedangkan laju kematian adalah
sebaliknya.
Cahaya berpengaruh terhadap perbungaan dan germinasi
dimana tumbuhan yang berada di luar kelompok (gerombol) akan menghasilkan lebih
banyak bunga karena mendapat sinar matahari lebih banyak daripada tumbuhan yang
berada di dalam gerombol.
·
Curah hujan
Jumlah, lama, dan distribusi hujan mempengaruhi
perkembangan tumbuhan mangrove. Curah hujan yang terjadi mempengaruhi kondisi
udara, suhu air, salinitas air dan tanah. Curah hujan optimum pada suatu lokasi
yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mangrove adalah yang berada pada kisaran
1500-3000 mm/tahun.
·
Suhu
Suhu berperan penting dalam proses fisiologis
(fotosintesis dan respirasi). Produksi daun baru Avicennia marina terjadi pada
suhu 18-20C dan jika suhu lebih tinggi maka produksi menjadi berkurang. Rhizophora
stylosa, Ceriops, Excocaria, Lumnitzera tumbuh optimal pada suhu 26-28C. Bruguiera
tumbuah optimal pada suhu 27C, dan Xylocarpus tumbuh optimal pada suhu 21-26C.
·
Angin
Angin
mempengaruhi terjadinya gelombang dan arus. Angin merupakan agen polinasi dan
diseminasi biji sehingga membantu terjadinya proses reproduksi tumbuhan
mangrove.
6.
Salinitas
Salinitas dari
pandangan oseanografi didefinisikan sebagai jumlah garam dari garam-garam yang
terlarut dalam satu kilogram air laut, setelah semua karbonat diubah menjadi
oksida, semua bromida dan iodine sudah ditransformasi sebagai klorida ekivalen
dan semua bahan organik telah dioksidasi. Meskipun dapat dinyatakan dalam mg/L,
tetapi salinitas lebih sering dinyatakan dalam ppt (part per thousand) atau
promil (Hariyadi et al., 1992).
Salinitas secara
umum dapat disebut sebagai jumlah kandungan garam dari suatu perairan, yang
dinyatakan dalam permil. Kisaran salinitas air laut berada antara 0-40 ‰, yang
berarti kandungan garam berkisar antara 0-40 g/kg air laut. Secara umum,
salinitas permukaan rerata perairan Indonesia berkisar antara 32-34 ‰
(Pariwono, 1996).
Fluktuasi salinitas
yang besar dapat ditemui di daerah estuaria, dimana salinitasnya dapat berubah
secara tajam dalam kurun waktu 6-12 jam tergantung dari tipe pasut yang disana.
Pada saat pasang, air laut akan memasuki estuaria menuju hulu sungai, dan
mengakibatkan perairannya meningkat mendekati salinitas air laut. Tetapi pada
waktu surut, air sungai akan mengalir melalui wilayah estuaria menuju laut
lepas, sehingga salinitas perairan diestuaria dan sekitarnya akan menurun tajam
mendekati 0 ‰ (Pariwono, 1996). Mann (1985), membagi 6 kelas salinitas pada
vegetasi mangrove yang tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2. Kelas
salinitas vegetasi mangrove
Kelas
|
Keterangan
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
|
Salinitas 10 – 30‰, tanah digenangi 1-2 kali sehari atau sekurangnya 20
hari etiap bulan, jenis Avicennia atau Sonneratia pada tanah baru yang lunak
atau Rhizophora pada tanah yang lebih keras, membentuk zona luar.
Salinitas 10-30 ‰, tanah digenangi 10-19 hari setiap bulan, jenis
Bruguira gymnorhiza tumbuh baik dan tegakan membentuk zona tanah.
Salinitas
10-30‰, tanah digenangi 9 hari atau kurang setiap bulan, jenis Xylocarpus dan
heritera tumbuh baik dan tegakan membentuk zona ke 3.
Salinitas
10-30‰ tanah digenangi hanya beberapa hari saja dalam setahun, jenis Bruguira
Scyphiphora dan Luminitzera tumbuh baik dan tegakan membentuk zona dalam.
Salinitas
0 ‰ sedikit dipengaruhi pasang surut.
0 ‰ tanah hanya
dipengaruhi perubahan air hanya pada musim basah.
|
7.
Derajat Keasaman
(pH) tanah
Nilai pH
didefinisikan sebagai logaritma dari resiprokal aktivitas ion hidrogen. Derajat
keasaman tanah mempengaruhi transportasi dan keberadaan nutrien yang diperlukan
tanaman (Murdiyanto, 2003). Jenis tanah banyak dipengaruhi oleh keasaman tanah
yang berlebihan, yang mengakibatkan tanah sangat peka terhadap terjadinya
proses biologi. Jika keadaan lingkungan berubah dari keadan alaminya, keadan pH
tanah juga akan dapat berubah (Arief, 2003).
Proses dekomposisi
bahan organik pada umumnya akan mengurangi suasana asam. Penurunan pH tanah
terjadi sebagai hasil akhir proses dekomposisi yang menghasilkan asam-asam yang
dominan, misalnya asam asetat, asam propionat, asam laktat, asam butirat, asam
format, dan alkohol serta gas CO2, H2 ,dan CH4-. Disamping itu, peristiwa
pasang surut membantu terjadinya proses dekomposisi melalui pelapukan (Arief,
2003). Menurut Murdiyanto (2003), umumnya pH tanah bakau berkisar antara 6-7,
kadang-kadang turun menjadi lebih rendah dari 5.
BAB. III
METODOLOGI
A. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan dipesisir kota Tarakan Provinsi
Kalimantan Timur yang secara geografis terletak pada 117031’45’’–177038’
BT dan 3014’30’’– 4014’ LU. Pengambilan data ekologis
mangrove dilakukan pada 3 lokasi penelitian, yaitu masing-masing pantai amal
sebagai stasiun 1, pelabuhan tengkayu ll sebagai setasiun 2, dan Muara Kanal sebagai
stasiun 3. Ketiga lokasi tersebut dipilih berdasarkan perbedaan aktivitas dan
jenis pemanfaatan lahan.
B.
Prosedur Penelitian
Dalam penelitian
ini digunakan 2 metode pengumpulan data yaitu : Transek-kuadrat dan spot chek.
Kedua metode ini di aplikasikan untuk mendapatkan informasi tentang komposisi
dan struktur vegetasi, serta distribusi jenis pada masing –masing stasiun.
Metode
transek-kuadrat dilakukan dengan cara menarik garis tegak lurus pantai,
kemudian di atas garis tersebut ditempatkan kuadrat ukuran 10 X 10 m, jarak
antar kuadrat ditetapkan secara sistematis terutama berdasarkan perbedaan
struktur vegetasi. Selanjutnya, pada setiap kuadrat dilakukan perhitungan
jumlah individual (pohon dewasa, pohon remaja, anakan), diameter pohon, dan
prediksi tinggi pohon untuk setiap jenis.
Metode 'spot check' digunakan untuk melengkapi informasi komposisi
jenis, distribusi jenis, dan kondisi umum ekosistem mangrove yang tidak
teramati pada metode transek-kuadrat. Metode ini dilakukan dengan cara
mengamati dan memeriksa zona-zona tertentu dalam ekosistem mangrove yang
memiliki ciri khusus. Informasi yang diperoleh melalui metode ini bersifat
deskriptif
Proses identifikasi tumbuhan
mangrove dalam penelitian ini dilakukan menurut Bengen (2003), Noor,khazali,
dan Suryadiputra (1999) serta silviansyah., shinji (1996). Untuk mendukung data
ekologis yang diperoleh selama penelitian, dilakukan juga pengukuran keadaan
lingkungan yang di ukur secara insitu seperti ; suhu, pH air dan pH tanah dan
salinitas sedangkan untuk analisis tekstur tanah dilakukan secara eksitu. Cara
pengambilan sampel tanah mengikuti metode yang dikemukakan oleh Santoso dan
Sasongko (1989)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar