Kamis, 09 Februari 2012

Analisis struktur dan komposisi ekosistem mangrove dipesisir kota tarakan


PROPOSAL

ANALISIS STRUKTUR DAN KOMPOSISI
EKOSISTEM MANGROVE DI PESISIR KOTA TARAKAN


                       OLEH :

Nama      :    Kristoper
NPM       :    08.101020.004
Prodi       :    Manajemen Sumberdaya Perairan
















FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN
2011

BAB. I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Wilayah pesisir yang merupakan sumber daya potensial di Indonesia, yang merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Sumberdaya ini sangat besar yang didukung oleh adanya garis pantai sepanjang sekitar 81.000 km (Dahuri et al. 2001). Garis pantai yang panjang ini menyimpan potensi kekayaan sumber alam yang besar. Potensi itu diantaranya potensi hayati dan non hayati. Potensi hayati misalnya: perikanan, hutan mangrove, dan terumbu karang, sedangkan potensi nonhayati misalnya: mineral dan bahan tambang serta pariwisata.
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar 17.500 pulau, sehingga negara kita memiliki potensi sumber daya wilayah pesisir laut yang besar. Ekosistem pesisir laut merupakan sumber daya alam yang produktif sebagai penyedia energi bagi kehidupan komunitas di dalamnya. Selain itu ekosistem pesisir dan laut mempunyai potensi sebagai sumber bahan pangan, pertambangan dan mineral, energi, kawasan rekreasi dan pariwista. Hal ini menunjukkan bahwa ekosistem pesisir dan laut merupakan aset yang tak ternilai harganya di masa yang akan datang. Ekosistem pesisir dan laut meliputi estuaria, hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, ekosistem pantai dan ekosistem pulau-pulau kecil. Komponen-komponen yang menyusun ekosistem pesisir dan laut tersebut perlu dijaga dan dilestarikan karena menyimpan sumber keanekaragaman hayati dan plasma nutfah. Salah satu komponen ekosistem pesisir dan laut adalah hutan mangrove.
Kota Tarakan merupakan suatu pulau yang terletak pada bagian utara Propinsi Kalimantan Timur yang memiliki luas daerah 657.33 km2 (65.733 ha) yang terdiri dari luas daratan 250.80 km2 (25.080 ha) dan lautan seluas 406.53 km2 (40.653 ha) (UU No.29 Tahun 1997 dan Peraturan Daerah No.23 Tahun 1999). Pulau Tarakan merupakan pulau yang memiliki garis pantai dan menyimpan potensi kekayaan sumber alam yang besar. Salah satu potensi pesisir tersebut adalah hutan mangrove.
Secara topografi pulau daratan kota Tarakan termasuk dalam kelompok pulau alluvium. Pulau alluvium umumnya terbentuk didataran pantai yang landai sebuah pulau atau didepan muara-muara sungai besar, dimana laju pengendapan sedimen lebih tinggi dibandingkan dengan laju erosi oleh arus dan gelombang laut. Potensi penyebaran air tanah ditemukan pada ekuifer pasir di alur sungai atau di pasir sempadan pantai dan dipengaruhi oleh perubahan musim. Sendimen pulau alluvium sebagian terbentuk oleh endapan sendimen klasik kasar dan sebagian berpasir dan lempung serta ada juga yang bergambut dan biasa terdapat alur sungai kecil, dengan tumbuhan nipah dan mangrove terlihat mendominasi. (Bengen et al.,2006).
Mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut, sehingga lantainya selalu tergenang air. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Kata mangrove adalah kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Adapun dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan untuk menunjuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang–surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Sedangkan dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, sedangkan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut. Nybakken (1988) mengatakan bahwa hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropic yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Mangrove tumbuh disepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis.
Dari sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang banyak ditemukan antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp), bakau (Rhizophora sp), tancang (Bruguiera sp), dan bogem atau pedada (Sonneratia sp), merupakan tumbuhan mangrove utama yang banyak dijumpai. Jenis-jenis mangrove tersebut adalah kelompok mangrove yang menangkap, menahan endapan dan menstabilkan tanah habitatnya. Fauna mangrove hampir mewakili semua phylum, meliputi protozoa sederhana sampai burung, reptilia dan mamalia.  Secara garis besar fauna mangrove dapat dibedakan atas fauna darat (terrestrial), fauna air tawar dan fauna laut.  Fauna darat, misalnya kera ekor panjang (Macaca spp.), Biawak (Varanus salvator), berbagai jenis burung, dan lain-lain.  Sedangkan fauna laut didominasi oleh Mollusca dan Crustaceae.  Golongan Mollusca umunya didominasi oleh Gastropoda, sedangkan golongan Crustaceae didominasi oleh Bracyura.
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi bermacam biota, penahan abrasi, penahan amukan angin taufan, dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya, hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis seperti penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat obatan, dan lain-lain.
Menurut Dahuri, et al.,(2001), secara umum mangrove cukup tahan terhadap berbagai gangguan dan tekanan lingkungan. Namun demikian, permasalahan utama tentang pengaruh atau tekanan terhadap habitat mangrove berasal dari keinginan manusia untuk mengkonversi area hutan mangrove menjadi areal pemukiman, tambak dan pertanian. Selain itu, meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove.  Jika eksploitasi berlangsung terus menerus, dapat menyebabkan kematian dan berkurangnya luas hutan mangrove di pesisir kota Tarakan.
Pemanfaatan mangrove di pesisir kota Tarakan hingga saat ini berlangsung secara berlebihan tanpa memperhatikan keseimbangan biologis dan ekologisnya. Sehingga dalam jangka panjang dikhawatirkan akan terjadi kerusakan ekosistem mangrove di wilayah pesisir. Informasi dasar mengenai data ekologis mangrove merupakan salah satu kebutuhan yang dapat mendukung perencanaan dan pengelolaan yang berkelanjutan. Untuk itu perlu diadakan penelitian mengenai  mangrove di Pesisir kota Tarakan untuk menjamin kelestarian mangrove tersebut sehingga manfaat ekologis dan ekonomis pentingnya tetap terjaga.
B.     Perumusan Masalah
Meningkatnya jumlah penduduk dan aktivitas pembangunan yang terjadi di wilayah kota Tarakan, terutama yang terkonsentrasi di wilayah pesisir, cenderung untuk mendorong eksploitasi sumberdaya pesisir terutama mangove. Melalui kegiatan yang berlangsung di ekosistem mangrove, untuk itu di perlukan suatu sistem pengelolaan yang bijaksana untuk menjamin kelestarian mangrove tersebut sehingga manfaat ekologis dan ekonomis pentingnya tetap terjaga.
Ekosistem mangrove yang ada di kota Tarakan selayaknya dipertahankan keberadaannya dan kualitasnya, sehingga pengelolaannya harus dilakukan secara bijak dan ramah lingkungan dengan memperhatikan keseimbangan ekologisnya. Suatu perencanaan dan pengelolaan secara berkelanjutan diperlukan untuk dapat mempertahankan keberadaan dan kualitas ekosistem mangrove di pesisir kota tarakan. Informasi dasar mengenai data ekologis mangrove merupakan salah satu kebutuhan yang dapat mendukung perencanaan dan pengelolaan yang berkelanjutan. Sehingga ruang lingkup penelitian ini hanya dibatasi oleh :
§  Bagaimana struktur dan komposisi ekosistem mangrove di pesisir kota Tarakan.
§  Bagaimana potensi dan kondisi ekosistem mangrove di pesisir kota Tarakan.
C.    Tujuan Penelitian
Adapun penelitian ini bertujuan :
-          Untuk mengetahui dan menganalisis struktur dan komposisi ekosistem mangrove di pesisir kota Tarakan.
-          Untuk mengetahui potensi dan kondisi ekosistem mangrove di pesisir kota Tarakan.
D.    Manfaat Penelitian
Sebagai Informasi dasar mengenai potensi dan kondisi mangrove serta sebagai bahan pemikiran bagi pemerintah kota Tarakan dalam mengelolah wilayah pesisir.
E.     Hipotesis
Berdasarkan teori yang ada dan tujuan dari penelitian ini, maka hipotesis yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah :
-          Struktur ekosistem mangrove dipesisir kota Tarakan masuk dalam tipe formasi mangrove pantai dan mangrove muara.
-          Permasalahan utama tentang pengaruh atau tekanan terhadap habitat mangrove berasal dari keinginan manusia untuk mengkonversi area hutan mangrove menjadi areal pemukiman, tambak dan pertanian. Selain itu, meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove.





BAB. II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Definisi
Mangrove adalah hutan yang berkembang di daerah pantai yang berair tenang dan terlindung dari hempasan ombak, serta eksistensinya bergantung adanya aliran air laut dan aliran sungai. Hutan mangrove tumbuh berbatasan dengan darat pada jangkauan air pasang tertinggi, sehingga ekosistem ini merupakan daerah transisi yang tentu eksistensinya juga dipengaruhi oleh faktor-faktor darat dan laut (Pramudji, 2001).
Mangrove merupakan karakteristik dari bentuk tanaman pantai, estuari atau muara sungai, dan delta di tempat yang terlindung daerah tropis dan sub tropis. Dengan demikian maka mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan dan pada kondisi yang sesuai mangrove akan membentuk hutan yang ekstensif dan produktif.Karena hidupnya di dekat pantai, mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Istilah bakau itu sendiri dalam bahasa Indonesia merupakan nama dari salah satu spesies penyusun hutan mangrove yaitu Rhizophora sp. Sehingga dalam percaturan bidang keilmuan untuk tidak membuat bias antara bakau dan mangrove maka hutan mangrove sudah ditetapkan merupakan istilah baku untuk menyebutkan hutan yang memiliki karakteristik hidup di daerah pantai. Berkaitan dengan penggunaan istilah mangrove maka menurut FAO (1982) : mangrove adalah individu jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Istilah mangrove merupakan perpaduan dari dua kata yaitu mangue dan grove. Di Eropa, ahli ekologi menggunakan istilah mangrove untuk menerangkan individu jenis dan mangal untuk komunitasnya. Hal ini juga dijelaskan oleh Macnae (1968) yang menyatakan bahwa kata nmangrove seharusnya digunakan untuk individu pohon sedangkan mangal merupakan komunitas dari beberapa jenis tumbuhan.
Wilayah mangrove dicirikan oleh tumbuh-tumbuhan khas mangrove, terutama jenis-jenis Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Avicennia, Xylocarpus dan Acrostichum (Soerianegara,1993). Selain itu juga ditemukan jenis-jenis Lumnitzera, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa (Nybakken, 1986; Soerianegara, 1993). Mangrove mempunyai kecenderungan membentuk kerapatan dan keragaman struktur tegakan yang berperan penting sebagai perangkap endapan dan perlindungan terhadap erosi pantai. Sedimen dan biomassa tumbuhan mempunyai kaitan erat dalam memelihara efisiensi dan berperan sebagai penyangga antara laut dan daratan, bertanggung jawab atas kapasitasnya sebagai penyerap energi gelombang dan menghambat intrusi air laut ke daratan. Selain itu, tumbuhan tingkat tinggi menghasilkan habitat untuk perlindungan bagi hewan-hewan muda dan permukaannya bermanfaat sebagai substrat perlekatan dan pertumbuhan dari banyak organisme epifit (Nybakken.1986).
Secara lebih luas dalam mendefinisikan hutan mangrove sebaiknya memperhatikan keberadaan lingkungannya termasuk sumberdaya yang ada. Berkaitan dengan hal tersebut maka (Saenger et al. 1983) mendefinisikan sumberdaya mangrove sebagai :
a.       Exclusive mangrove, yaitu satu atau lebih jenis pohon atau semak belukar yang hanya tumbuh di habitat mangrove.
b.      Non exclusive mangrove, yaitu setiap jenis tumbuhan yang tumbuh di habitat mangrove, dan keberadaannya tidak terbatas pada habitat mangrove saja.
c.       Biota, yaitu semua jenis biota yang berasosiasi dengan habitat mangrove.
d.      Proses (abrasi, sedimentasi), yaitu setiap proses yang berperan penting dalam menjaga atau memelihara keberadaan ekosistem mangrove. Keanekaragaman jenis ekosistem mangrove di Indonesia cukup tinggi.
jika dibandingkan dengan negara lain di dunia. Jumlah jenis mangrove di Indonesia mencapai 89 yang terdiri dari 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit, dan 2 jenis parasit (Nontji, 1987). Dari 35 jenis pohon tersebut, yang umum dijumpai di pesisir pantai adalah Avicennia sp,Sonneratia sp, Rizophora sp, Bruguiera sp, Xylocarpus sp, Ceriops sp, dan Excocaria sp.
B.     Zonasi Mangrove
Ekosistem mangrove sangat rumit, karena terdapat banyak faktor yang saling mempengaruhi, baik di dalam maupun diluar pertumbuhan dan perkembangannya. Berdasarkan tempat tumbuhnya, kawasan mangrove dibedakan menjadi beberapa zonasi, yang disebut dengan jenis-jenis vegetasi yang mendominasi (Arief, 2003). Disebutkan oleh Noor et al., (1999) bahwa vegetasi mangrove secara khas memperlihatkan adanya pola zonasi.
Zonasi pada tumbuhan mangrove dapat dilihat sebagai suatu proses suksesi dan merupakan hasil reaksi ekosistem terhadap kekuatan yang datang dari luar. Kondisi ini terjadi disebabkan oleh adanya peran dan kemampuan jenis tumbuhan mangrove dalam beradaptasi dengan lingkungan yang berada di kawasan pesisir (Budiman dan Suhardjono, 1993 dalam Pramudji, 2001). Zonasi tumbuhan yang membentuk komponen mangrove dari hasil penelitian, menghasilkan pola bervariasi yang menunjukkan kondisi lingkungan yang berbeda di setiap lokasi penelitian (Noor et al., 1999).
Zonasi yang terjadi di hutan mangrove adalah dipengaruhui oleh beberapa faktor, antara lain adalah frekuensi genangan, salinitas, dominasi jenis tumbuhan, gerakan air pasang-surut dan keterbukaan lokasi hutan mangrove terhadap angin dan hempasan ombak, serta jarak tumbuhan dari garis pantai (Pramudji, 2001).
Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicenia sp. Pada zona ini biasanya berasosiasi Sonneratia spp, yang dominan tumbuh pada lumpur dalam. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp dan Xylocarpus spp. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan daratan rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans dan beberapa spesies palem lainnya (Bengen, 2002).
Menurut (Purnobasuki, 2005) struktur ekosistemnya, secara garis besar dikenal tiga tipe formasi mangrove, yaitu :
a.       Mangrove Pantai : Pada tipe ini dipengaruhi air laut dominan dari air sungai. Struktur horizontal formasi ini dari arah laut ke arah darat adalah mulai dari tumbuhan pionir (Sonneratia alba), diikuti oleh komunitas campuran Soneratia alba, Avicennia sp, Rhizophora apiculata, selanjutnya komunitas murni Rhizophora sp dan akhirnya komunitas campuran Rhizophora–Bruguiera. Bila genangan berlanjut, akan ditemui komunitas murni Nypa fructicans di belakang komunitas campuran yang terakhir.
b.      Mangrove Muara : Pada tipe ini pengaruh air laut sama kuat dengan pengaruh air sungai. Mangrove muara dicirikan oleh mintakat tipis Rhizophora sp. Di tepian alur, di ikuti komunitas campuran Rhizophora – Bruguiera dan diakhiri komunitas murni Nypa sp.
c.       Mangrove sungai : Pada tipe ini pengaruh air sungai lebih dominan daripada air laut, dan berkembang pada tepian sungai yang relalif jauh dari muara. Mangrove banyak berasosiasi dengan komunitas daratan.
Berdasarkan Bengen (2002), jenis-jenis pohon penyusun hutan mangrove, umumnya mangrove di Indonesia jika dirunut dari arah laut ke arah daratan biasanya dapat dibedakan menjadi 4 zonasi yaitu sebagai berikut :
1.      Zona Api-api – Prepat (Avicennia – Sonneratia)
Ø  Terletak paling luar/jauh atau terdekat dengan laut, keadaan tanah berlumpur agak lembek (dangkal),dengan substrat agak berpasir, sedikit bahan organik dan kadar garam agak tinggi.
Ø  Zona ini biasanya didominasi oleh jenis api-api (Avicennia spp.) dan prepat (Sonneratia spp), dan biasanya berasosiasi dengan jenis bakau (Rhizophora spp).
2.         Zona Bakau (Rhizophora)
Ø  Biasanya terletak di belakang api-api dan prepat, keadaan tanah berlumpur lembek (dalam).
Ø  Pada umumnya didominasi bakau (Rhizophora spp.) dan di beberapa tempat dijumpai berasosiasi dengan jenis lain seperti tanjang (Bruguiera spp.).
3.      Zona Tanjang (Bruguiera)
Ø  Terletak di belakang zona bakau, agak jauh dari laut dekat dengan daratan. Keadaan berlumpur agak keras, agak jauh dari garis pantai.
Ø  Pada umumnya ditumbuhi jenis tanjang (Bruguiera spp.) dan di beberapa tempat berasosiasi dengan jenis lain.
4.      Zona Nipah (Nypa fructicante)
Ø  Terletak paling jauh dari laut atau paling dekat ke arah darat.
Ø  Zona ini mengandung air dengan salinitas sangat rendah dibandingkan zona lainnya, tanahnya keras, kurang dipengaruhi pasang surut dan kebanyakan berada di tepi-tepi sungai dekat laut.
Ø  Pada umumnya ditumbuhi jenis nipah (Nypa fructicante) dan beberapa spesies palem lainnya.
Faktor-Faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove di suatu lokasi :
1.      Fisiografi pantai Fisiografi
Pantai dapat mempengaruhi komposisi, distribusi spesies dan lebar hutan mangrove. Pada pantai yang landai, komposisi ekosistem mangrove lebih beragam jika dibandingkan dengan pantai yang terjal. Hal ini disebabkan karena pantai landai menyediakan ruang yang lebih luas untuk tumbuhnya mangrove sehingga distribusi spesies menjadi semakin luas dan lebar. Pada pantai yang terjal komposisi, distribusi dan lebar hutan mangrove lebih kecil karena kontur yang terjal menyulitkan pohon mangrove untuk tumbuh. (shantybio, 2007)

2.       Kondisi Substrat (Tanah)
Tanah di mangrove mempunyai ciri-ciri selalu basah, mangandung garam, kandungan oxygen sedikit, berbutir-butir dan kaya akan bahan-bahan organik. Bahan organik yang terdapat dalam tanah terutama berasal dari perombakan sisa tumbuhan yang diproduksi oleh mangrove itu sendiri. Adanya serasah secara lambat hancur dibawah kondisi sedikit asam oleh micro-organisme seperti bakteri, jamur dan algae (Soeroyo, 1993).
Selain zat organik seperti tersebut di atas, tanah mangrove juga terjadi sedimen-sedimen halus atau partikel-partikel pasir, material kasar seperti potongan-potongan batu dan koral, pecahan kulit-kulit kerang, telur dan siput. Biasanya tanah-tanah mangrove kurang membentuk lumpur berlempung dan warnanya bervariasi dari abu-abu muda sampai hitam. Tanah tersebut terbentuk oleh pengendapan sedimen-sedimen yang terbawa oleh aliran sungai ditambah oleh material-material yang dibawa dari laut pada waktu air pasang. Sedimen-sedimen halus dan material suspensi lain terbawa oleh aliran sungai dapat mengendap di daerah mangrove disebabkan oleh berkurangnya aliran air (Soeroyo, 1993).
Menurut Nybakken (1988), berkurangnya aliran air akan berpengaruh nyata terhadap aliran air yang lambat sehingga menyebakan partikel sedimen yang halus cenderung mengendap dan mengumpul didasar, yang akan menghasilkan kumpulan lumpur. Jadi substrat pada rawa mangrove biasanya lumpur. Sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur, terutama di daerah endapan yang terakumulasi lumpur (Chapman, 1977 dalam Noor et al.,1999).
Karakteristik tanah merupakan faktor pembatas utama terhadap pertumbuhan di dalam mangrove, terutama dalam jenis dan kerapatan tegakan tumbuhan mangrove (Kusmana, 1997 dalam Sukistyanawati, 2002).
3.      Pasang surut
Menurut Soerianegara (1987 dalam Noor et al., 1999), hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh pada tanah lumpur, daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut.
Pasang surut adalah peristiwa naik dan turunnya permukaan laut secara periodik selama suatu interval waktu tertentu yang terjadi karena interaksi antara gaya gravitasi matahari dan bulan terhadap bumi. Kisaran pasang surut dan tipenya bervariasi tergantung pada keadaan geografi mangrove. Mangrove berkembang hanya pada perairan yang dangkal dan daerah intertidal sehingga sangat dipengaruhi oleh pasang surut (Nybakken, 1988).
Di Indonesia, areal yang selalu tergenang walupun pada saat pasang rendah umumnya didominasi oleh Avicennia alba atau Sonneratia alba. Areal yang digenangi oleh pasang sedang didominasi oleh jenis-jenis Rhizophora spp. Adapun areal yang digenangi hanya pada saat pasang tinggi (lebih ke daratan), umumnya didominasi oleh jenis-jenis Bruguiera spp dan Xylocarpus granatum, sedangkan areal yang digenangi hanya pada saat pasang tertinggi (hanya beberapa hari dalam sebulan) umumnya didominasi oleh Bruguira sexangula dan Luminitzera littorea (Noor et al., 1999).
Bila kisaraan pasang kecil, maka zona intertidal juga terbatas. Kebanyakan hutan-hutan mangrove yang luas berkembang pada pantai-pantai yang mempunyai kisaran pasang surut vertikal yang besar (Nybakken, 1988).
4.      Gelombang dan Arus
Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove. Pada lokasi-lokasi yang memiliki gelombang dan arus yang cukup besar biasanya hutan mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi pengurangan luasan hutan. 
Gelombang dan arus juga berpengaruh langsung terhadap distribusi spesies misalnya buah atau semai Rhizophora terbawa gelombang dan arus sampai menemukan substrat yang sesuai untuk menancap dan akhirnya tumbuh.
Gelombang dan arus berpengaruh tidak langsung terhadap sedimentasi pantai dan pembentukan padatan-padatan pasir di muara sungai. Terjadinya sedimentasi dan padatan-padatan pasir ini merupakan substrat yang baik untuk menunjang pertumbuhan mangrove.
Gelombang dan arus mempengaruhi daya tahan organisme akuatik melalui transportasi nutrien-nutrien penting dari mangrove ke laut. Nutrien-nutrien yang berasal dari hasil dekomposisi serasah maupun yang berasal dari runoff daratan dan terjebak di hutan mangrove akan terbawa oleh arus dan gelombang ke laut pada saat surut. (shantybio, 2007)
5.      Iklim
Mempengaruhi perkembangan tumbuhan dan perubahan faktor fisik (substrat dan air). Pengaruh iklim terhadap pertimbuhan mangrove melalui cahaya, curah hujan, suhu, dan angin. (shantybio, 2007)
Penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
·         Cahaya
Cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesis, respirasi, fisiologi, dan struktur fisik mangrove. Intensitas, kualitas, lama (mangrove adalah tumbuhan long day plants yang membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi sehingga sesuai untuk hidup di daerah tropis) pencahayaan mempengaruhi pertumbuhan mangrove. Laju pertumbuhan tahunan mangrove yang berada di bawah naungan sinar matahari lebih kecil dan sedangkan laju kematian adalah sebaliknya.
Cahaya berpengaruh terhadap perbungaan dan germinasi dimana tumbuhan yang berada di luar kelompok (gerombol) akan menghasilkan lebih banyak bunga karena mendapat sinar matahari lebih banyak daripada tumbuhan yang berada di dalam gerombol.
·         Curah hujan
Jumlah, lama, dan distribusi hujan mempengaruhi perkembangan tumbuhan mangrove. Curah hujan yang terjadi mempengaruhi kondisi udara, suhu air, salinitas air dan tanah. Curah hujan optimum pada suatu lokasi yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mangrove adalah yang berada pada kisaran 1500-3000 mm/tahun.
·         Suhu
Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi). Produksi daun baru Avicennia marina terjadi pada suhu 18-20C dan jika suhu lebih tinggi maka produksi menjadi berkurang. Rhizophora stylosa, Ceriops, Excocaria, Lumnitzera tumbuh optimal pada suhu 26-28C. Bruguiera tumbuah optimal pada suhu 27C, dan Xylocarpus tumbuh optimal pada suhu 21-26C.



·         Angin
Angin mempengaruhi terjadinya gelombang dan arus. Angin merupakan agen polinasi dan diseminasi biji sehingga membantu terjadinya proses reproduksi tumbuhan mangrove.
6.      Salinitas
Salinitas dari pandangan oseanografi didefinisikan sebagai jumlah garam dari garam-garam yang terlarut dalam satu kilogram air laut, setelah semua karbonat diubah menjadi oksida, semua bromida dan iodine sudah ditransformasi sebagai klorida ekivalen dan semua bahan organik telah dioksidasi. Meskipun dapat dinyatakan dalam mg/L, tetapi salinitas lebih sering dinyatakan dalam ppt (part per thousand) atau promil (Hariyadi et al., 1992).
Salinitas secara umum dapat disebut sebagai jumlah kandungan garam dari suatu perairan, yang dinyatakan dalam permil. Kisaran salinitas air laut berada antara 0-40 ‰, yang berarti kandungan garam berkisar antara 0-40 g/kg air laut. Secara umum, salinitas permukaan rerata perairan Indonesia berkisar antara 32-34 ‰ (Pariwono, 1996).
Fluktuasi salinitas yang besar dapat ditemui di daerah estuaria, dimana salinitasnya dapat berubah secara tajam dalam kurun waktu 6-12 jam tergantung dari tipe pasut yang disana. Pada saat pasang, air laut akan memasuki estuaria menuju hulu sungai, dan mengakibatkan perairannya meningkat mendekati salinitas air laut. Tetapi pada waktu surut, air sungai akan mengalir melalui wilayah estuaria menuju laut lepas, sehingga salinitas perairan diestuaria dan sekitarnya akan menurun tajam mendekati 0 ‰ (Pariwono, 1996). Mann (1985), membagi 6 kelas salinitas pada vegetasi mangrove yang tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2. Kelas salinitas vegetasi mangrove
Kelas
Keterangan
1.



2.


3.


4.



5.

6.
Salinitas 10 – 30‰, tanah digenangi 1-2 kali sehari atau sekurangnya 20 hari etiap bulan, jenis Avicennia atau Sonneratia pada tanah baru yang lunak atau Rhizophora pada tanah yang lebih keras, membentuk zona luar.

Salinitas 10-30 ‰, tanah digenangi 10-19 hari setiap bulan, jenis Bruguira gymnorhiza tumbuh baik dan tegakan membentuk zona tanah.

Salinitas 10-30‰, tanah digenangi 9 hari atau kurang setiap bulan, jenis Xylocarpus dan heritera tumbuh baik dan tegakan membentuk zona ke 3.

Salinitas 10-30‰ tanah digenangi hanya beberapa hari saja dalam setahun, jenis Bruguira Scyphiphora dan Luminitzera tumbuh baik dan tegakan membentuk zona dalam.

Salinitas 0 ‰ sedikit dipengaruhi pasang surut.

0 ‰ tanah hanya dipengaruhi perubahan air hanya pada musim basah.

7.      Derajat Keasaman (pH) tanah
Nilai pH didefinisikan sebagai logaritma dari resiprokal aktivitas ion hidrogen. Derajat keasaman tanah mempengaruhi transportasi dan keberadaan nutrien yang diperlukan tanaman (Murdiyanto, 2003). Jenis tanah banyak dipengaruhi oleh keasaman tanah yang berlebihan, yang mengakibatkan tanah sangat peka terhadap terjadinya proses biologi. Jika keadaan lingkungan berubah dari keadan alaminya, keadan pH tanah juga akan dapat berubah (Arief, 2003).
Proses dekomposisi bahan organik pada umumnya akan mengurangi suasana asam. Penurunan pH tanah terjadi sebagai hasil akhir proses dekomposisi yang menghasilkan asam-asam yang dominan, misalnya asam asetat, asam propionat, asam laktat, asam butirat, asam format, dan alkohol serta gas CO2, H2 ,dan CH4-. Disamping itu, peristiwa pasang surut membantu terjadinya proses dekomposisi melalui pelapukan (Arief, 2003). Menurut Murdiyanto (2003), umumnya pH tanah bakau berkisar antara 6-7, kadang-kadang turun menjadi lebih rendah dari 5.












BAB. III
METODOLOGI
A.    Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan dipesisir kota Tarakan Provinsi Kalimantan Timur yang secara geografis terletak pada 117031’45’’–177038’ BT dan 3014’30’’– 4014’ LU. Pengambilan data ekologis mangrove dilakukan pada 3 lokasi penelitian, yaitu masing-masing pantai amal sebagai stasiun 1, pelabuhan tengkayu ll sebagai setasiun 2, dan Muara Kanal sebagai stasiun 3. Ketiga lokasi tersebut dipilih berdasarkan perbedaan aktivitas dan jenis pemanfaatan lahan.

B.     Prosedur Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan 2 metode pengumpulan data yaitu : Transek-kuadrat dan spot chek. Kedua metode ini di aplikasikan untuk mendapatkan informasi tentang komposisi dan struktur vegetasi, serta distribusi jenis pada masing –masing stasiun.
Metode transek-kuadrat dilakukan dengan cara menarik garis tegak lurus pantai, kemudian di atas garis tersebut ditempatkan kuadrat ukuran 10 X 10 m, jarak antar kuadrat ditetapkan secara sistematis terutama berdasarkan perbedaan struktur vegetasi. Selanjutnya, pada setiap kuadrat dilakukan perhitungan jumlah individual (pohon dewasa, pohon remaja, anakan), diameter pohon, dan prediksi tinggi pohon untuk setiap jenis.   Metode 'spot check' digunakan untuk melengkapi informasi komposisi jenis, distribusi jenis, dan kondisi umum ekosistem mangrove yang tidak teramati pada metode transek-kuadrat. Metode ini dilakukan dengan cara mengamati dan memeriksa zona-zona tertentu dalam ekosistem mangrove yang memiliki ciri khusus. Informasi yang diperoleh melalui metode ini bersifat deskriptif
Proses identifikasi tumbuhan mangrove dalam penelitian ini dilakukan menurut Bengen (2003), Noor,khazali, dan Suryadiputra (1999) serta silviansyah., shinji (1996). Untuk mendukung data ekologis yang diperoleh selama penelitian, dilakukan juga pengukuran keadaan lingkungan yang di ukur secara insitu seperti ; suhu, pH air dan pH tanah dan salinitas sedangkan untuk analisis tekstur tanah dilakukan secara eksitu. Cara pengambilan sampel tanah mengikuti metode yang dikemukakan oleh Santoso dan Sasongko (1989)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar