1.
PENDAHULUAN
Wilayah
pesisir dan lautan mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan dan
penghidupan bangsa Indonesia. Kedua wilayah tersebut merupakan lahan kedua yang
merupakan tumpuan harapan bagi pembangunan Indonesia di masa mendatang. 63 %
wilayah teritorial Indonesia yang merupakan pesisir dan lautan, memiliki sumber
daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang kaya dan beragam, antara lain hutan
mangrove, terumbu karang, perikanan, bahan tambang, jasa perhubungan dan
pariwisata (Pariyono, 2006).
Salah satu ekosistem utama yang
dijumpai di wilayah pesisir adalah ekosistem hutan mangrove. Dari sekitar 15,9 juta ha hutan mangrove yang
terdapat di dunia, dari luas tersebut sekitar 27 % berada di Indonesia. Lebih dari itu hutan mangrove merupakan salah
satu ekosistem alamiah yang unik dan mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang
cukup tinggi. Disamping menghasilkan
bahan dasar untuk keperluan rumah tangga dan industri, seperti kayu bakar,
arang, kertas, dan rayon yang dalam konteks ekonomi mengandung nilai komersial
tinggi, selain itu hutan mangrove juga memiliki fungsi – fungsi ekologis yang
penting antara lain sebagai penyedia nutrien, sebagai tempat pemijahan, tempat
pengasuhan, dan tempat mencari makan bagi biota – biota tertentu. Hutan mangrove juga memiliki fungsi fisik
yaitu penahan abrasi pantai. (Bengen,
2002).
Perhatian terhadap keberadaan Hutan
Mangrove memang tidak sebesar yang terjadi pada hutan-hutan di daratan karena
luasannya yang hanya sedikit. Namun, sebagai negara kepulauan dengan garis
pantai yang panjang keberadaan Hutan Mangrove menjadi sangat penting karena
Hutan Mangrove membentuk suatu ekosistem peralihan antara laut dan daratan yang
memiliki pengaruh signifikan bagi kedua wilayah tersebut.
Berbagai kegiatan pemanfaatan Hutan
Mangrove telah dilakukan masyarakat sejak dulu seperti menebang untuk
memperoleh kayu bakar, arang, daun-daun untuk atap rumah dan sebagainya, serta
penangkapan ikan, udang dan jenis-jenis biota air lainnya. Kegiatan-kegiatan
tersebut pada dasarnya tidak mempengaruhi kondisi lingkungan sekitar bila
dilakukan dengan memperhatikan daya dukung lingkungan Hutan Mangrove, namun
pemanfaatan yang berorientasi pada usaha komersial dan dilakukan secara
besar-besaran pada gilirannya membawa dampak negatif terhadap lingkungan
sekitarnya.
Penilaian
yang kurang tepat terhadap ekosistem mangrove turut berperan pada kecepatan
penurunan luas areal hutan mangrove. Hutan Mangrove selama ini lebih dianggap
sebagai sarang nyamuk (penyakit) serta tidak bernilai (hanya merupakan waste land). Adapun Hutan Mangrove dianggap
akan lebih bernilai secara ekonomi apabila dikonversi menjadi peruntukan lain
seperti tambak, industri atau pemukiman. Kondisi ini menurut Emil Salim (1986);
Hadipurnomo (1995) juga disebabkan mekanisme ekonomi yang hanya menampung
peranan Hutan Mangrove pada fungsi-fungsi yang dapat dinilai dengan uang, tanpa
memperhitungkan fungsi-fungsi lain yang juga sangat bernilai namun tak memiliki
harga pasar.
2. Permasalahan
Hutan Mangrove Kota Tarakan
Kota
Tarakan merupakan kota pulau yang terletak di bagian utara Kalimantan Timur.
Memiliki posisi strategis diantara kabupaten sekitar menjadikan Kota Tarakan
sebagai “kota transit” yang penting setelah Kota Balikpapan. Kota Tarakan
terdiri dari 2 pulau yaitu Pulau Tarakan dan Pulau Sadau dengan luas daratan ±
250,80 km2, sehingga keterbatasan lahan menjadi salah satu
permasalahan dalam aktivitas pembangunan karena sangat kecil kemungkinan untuk
memperluas wilayah daratan. Permasalahan kebutuhan akan lahan tersebut menjadi salah
satu faktor penyebab degradasi hutan di Kota Tarakan dimana hutan dialih-fungsikan
untuk kawasan pemukiman, industri, perdagangan, pelebaran jalan, perkantoran,
bahkan pembangunan kampus, sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan. Pada
daerah-daerah pesisir tidak luput dari kegiatan konversi, baik dalam rangka
kegiatan pembangunan maupun pemanfaatan flora dan fauna bagi memenuhi kebutuhan
masyarakat. Kondisi ini diperparah oleh masih rendahnya kesadaran dan tanggung
jawab masyarakat untuk ikut melestarikan kawasan hutan baik di darat (Hutan
Lindung dan Hutan Kota) maupun di daerah pesisir (Hutan Mangrove).
Kawasan Hutan Mangrove berdasarkan RTRW
Kota Tarakan Tahun 2003-2013 terbagi dalam 4 (empat) kecamatan dengan luas 766
Ha meliputi Kecamatan Tarakan Utara yaitu Kelurahan
Juata Laut dengan luas ± 363 Ha, Kecamatan Tarakan Tengah yaitu Kelurahan
Kampung Satu/ Skip, Kelurahan Selumit Pantai dengan luas ± 89
Ha, Kecamatan Tarakan Timur yaitu Kelurahan Pantai Amal dan Kelurahan Mamburungan dan
Kelurahan Lingkas Ujung dengan luas ± 203 Ha, dan Kecamatan Tarakan Barat yaitu Kelurahan
Karang Rejo dan Karang Anyar Pantai dengan luas ± 110 Ha.
Gambar 1.
Peta
Lokasi Mangrove, Terumbu Karang dan Padang Lamun
Berdasarkan interpretasi citra
satelit tahun 2001, luasan hutan mangrove di Kota Tarakan sekitar 1.587 hektar yang tersebar
di pesisir dan pulau-pulau kecil di Kota Tarakan. Pada tahun 2005 luas hutan
mangrove menjadi 766 hektar. Dalam waktu 5 tahun (dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2006) telah
terjadi penurunan luasan hutan
mangrove sebesar 51,73 %, dengan asumsi interpretasi citra satelit
kebenarannya sebanding atau sesuai dengan kondisi riil). Namun demikian
pada tahun 2009 diperkirakan terjadi peningkatan menjadi 982,55 hektar dan tahun 2010 menjadi 1.026 hektar (Anonim, 2010).
Gambar 2. Perkembangan Luas Hutan Mangrove di Kota Tarakan
Hasil Ekspedisi Mangrove pada
tanggal 8 sampai dengan 13 Juni 2009 kerjasama antara Pemerintah Kota Tarakan
dan Deutscher Entwicklungsdients menunjukkan status mangrove greenbelt Pulau Tarakan dapat
dikategorikan sedang dan buruk dibeberapa
lokasi berdasarkan pada pengamatan visual dari jumlah anakan yang ada di
setiap lokasi.
Degradasi Hutan Mangrove di Kota
Tarakan menyebabkan beberapa permasalahan di wilayah pesisir Kota Tarakan
diantaranya :
2.1.
Abrasi
Pantai
Wilayah Kota Tarakan
bagian timur menghadap langsung ke Laut Sulawesi sehingga Pantai Timur Kota
Tarakan memiliki potensi abrasi yang cukup tinggi. Hal itu terjadi di Pantai
Amal yang merupakan daerah Pantai Timur Kota Tarakan memiliki tingkat abrasi
tertinggi (3 – 5 m/tahun) (Anonim, 2010).
Berkurangnya vegetasi
mangrove di pesisir timur Kota Tarakan telah menyebabkan garis pantai mendekati
daratan sehingga permukaan air laut semakin tinggi. Kondisi ini dimulai sejak
maraknya pembukaan areal tambak tradisional oleh masyarakat maupun tambak
modern yang dikelola oleh pemilik modal (industri).
Berbagai kerugian
akibat abrasi pantai terutama dirasakan masyarakat yang bermukim disepanjang
pantai, seperti adanya masyarakat yang harus memindahkan rumahnya karena tanahnya
terkikis oleh gelombang pasang. Pantai Amal yang menjadi tujuan wisata
masyarakat Kota Tarakan tidak lagi indah karena surutnya air sangat jauh kearah
laut.
2.2.
Penurunan Produksi Sektor Perikanan
Rusaknya ekosistem
mangrove dan terumbu karang telah mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan
sumber daya ikan sehingga terjadi penurunan produksi disektor perikanan
terutama pada hasil panen tambak (Anonim, 2010). Kondisi ini bila tidak segera
ditangani akan merugikan masyarakat yang bergantung pada hasil-hasil perikanan
dan indsutri yang merupakan penyumbang bagi Pendapatan Asli Daerah.
2.3.
Intrusi Air Laut
Intrusi air laut ke
darat merupakan masalah yang serius bagi wilayah pesisir. Adanya
pemanfaatan air tanah yang berlebihan mengakibatkan turunnya permukaan air
tanah yang selanjutnya akan memudahkan terjadinya intrusi air laut ke darat.
Penebangan hutan bakau yang di konversi menjadi tambak dan permukiman di daerah
pantai telah mengakibatkan terjadinya intrusi air laut ke darat. Intrusi air
laut di muara merupakan salah satu permasalahan yang banyak dijumpai dengan
fluktuasi saat musim kemarau dan penghujan yang besar. Dengan kenaikan air
laut, maka volume air laut yang mendesak ke dalam sungai akan semakin besar.
Air laut yang mendesak masuk jauh ke dalam melalui sungai ini juga merupakan
masalah bagi kota yang menggantungkan sumber air bakunya dari sungai.
3. Tujuan dan Sasaran Kegiatan
Kesadaran
akan pentingnya ekosistem mangrove bagi keberlangsungan dukungan lingkungan
bagi kehidupan masyarakat di Kota Tarakan telah mendorong pemerintah Kota
Tarakan melakukan berbagai upaya untuk merehabilitasi dan melindungi ekosistem
Mangrove diantaranya :
(1) mengeluarkan peraturan daerah yang berkaitan dengan ekosistem
Mangrove diantaranya Perda No 04 Tahun 2002 Tentang Larangan Dan Pengawasan
Hutan Mangrove Di Kota Tarakan dan SK Walikota No 591/HK-V/257/2001 tentang
Pemanfaatan Hutan Mangrove Kota Tarakan;
(2) membentuk 3 (tiga) model pengelolaan konservasi hutan mangrove
yaitu : KKMB (Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan seluas sekitar 9 Ha yang
secara intensif dikelola oleh pemerintah kota, KKMM (Kawasan Konservasi Mangrove Mamburungan) seluas sekitar 200 Ha
dikelola dengan pola kerjasama masyarakat dengan pemerintah kota, dan KKMA
(Kawasan Konservasi Mangrove Aurora) seluas 4 Ha di kawasan industri cold
storage udang ekspor yang dikelola oleh dunia usaha PT Mustika Aurora.
(3) berbagai kegiatan penanaman mangrove oleh dinas-dinas terkait,
kalangan usaha, pendidikan dan LSM di kawasan pesisir Kota Tarakan.
Gambar 3. Kawasan Konservasi Mangrove
dan Bekantan (KKMB) Kota Tarakan
Meski
demikian masih terdapat beberapa permasalahan dalam upaya perlindungan dan
pelestarian Hutan Mangrove diantaranya adalah rendahnya persen tumbuh tanaman
mangrove serta rendahnya kesadaran masyarakat untuk ikut berperan aktif.
Kondisi ini menyebabkan ekosistem mangrove yang terjaga hanya pada
kawasan-kawasan konservasi, sementara pada kawasan hutan mangrove lainnya terus
mengalami degradasi.
Berdasarkan
hal tersebut dirasa penting untuk melakukan suatu kegiatan rehabilitasi Hutan
Mangrove dengan melibatkan masyarakat serta perapan teknik penanaman mangrove
yang sesuai dengan kondisi hutan mangrove tersebut.
Adapun
tujuan akhir yang ingin dicapai adalah meningkatnya kesadaran masyarakat dalam
ikut melestarikan ekosistem mangrove yang dapat diukur dari meningkatnya luasan
kawasan hutan mangrove dipesisir Kota Tarakan.
Sasaran dari kegiatan ini
adalah masyarakat di Desa Binalatung Pantai Amal Lama yang memiliki ekosistem
mangrove dengan kategori rusak.
4. Strategi
Kegiatan
Sebagaimana maksud dan tujuan dari kegiatan ini adalah untuk
melibatkan masyarakat dalam upaya rehabilitasi ekosistem mangrove di wilayah
pesisir Kota Tarakan, maka hal penting yang harus diperhatikan adalah bagaimana
agar kegiatan ini benar-benar dapat diterima, diterapkan dan diambil manfaatnya
oleh masyarakat setempat terutama setelah kegiatan ini selesai dilaksanakan.
Menanam mangrove tidak akan berguna apabila tidak memberi
manfaat bagi masyarakat secara ekonomi, oleh karenanya dalam kegiatan ini akan dilakukan
dua kegiatan yaitu penanaman mangrove dan membuat suatu model tambak ramah
lingkungan.
Dalam kegiatan ini, dikembangkan strategi dimana tim pelaksana
hanya sebagai fasilitator sedangkan pelaku aktif adalah masyarakat yang akan
terlibat secara aktif mulai dari meninjau kembali berbagai aktifitas yang
tercantum dalam perencanaan program kegiatan, pelaksanaan kegiatan, monitoring
dan evaluasi kegiatan di lapangan.
5. Mangrove,
Komunitas Mangrove Dan Ekosistem Mangrove
Mangrove
merupakan tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut antara garis
pasang tertinggi dengan garis surut terendah di wilayah tropika dan subtropika.
Tumbuh-tumbuhan tersebut berasosiasi dengan organisme lain (fungi, mikroba,
alga, fauna, dan tumbuhan lainnya) membentuk komunitas mangrove. Selanjutnya
komunitas tersebut berinteraksi dengan faktor abiotik (iklim, udara, tanah,
air) membentuk ekosistem mangrove (Kusmana, 2002).
Menurut Bengen (2000), ekosistem hutan
mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri atas 12 genera tumbuhan
berbunga (Avicennia, Sonneratia,
Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia,
Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus) yang termasuk ke dalam
delapan famili. Adapun di Indonesia keanekaragaman jenis ekosistem hutan
mangrove merupakan yang tertinggi di dunia, seluruhnya tercatat 89 jenis.
Beberapa jenis pohon yang banyak dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah
Bakau (Rhizophora. spp.), Api-api (Avicennia spp.), Pedada
(Sonneratia spp.), Tanjang (Bruguiera spp.), Nyirih (Xylocarpus
spp.), Tenger (Ceriops spp) dan, Buta-buta (Exoecaria spp.)
(Gambar 3).
Gambar 4.
Struktur dan Zonasi Hutan Mangrove di Daerah Pantai
Selain tumbuhan, banyak
jenis binatang yang berasosiasi dengan mangrove, baik di lantai hutan, melekat
pada tumbuhan mangrove dan ada pula beberapa jenis binatang yang hanya sebagian
dari daur hidupnya membutuhkan lingkungan hutan mangrove. Jenis ini terutama
Crustaceae, Mollusca dan ikan. Hal ini menunjukkan pentingnya mangrove bagi
kehidupan binatang (Atmawidjaja, 1987).
Ekosistem hutan mangrove
bersifat kompleks dan dinamis namun labil. Kompleks, karena di dalam hutan
mangrove dan perairan/ tanah di bawahnya merupakan habitat berbagai satwa dan
biota perairan. Dinamis, karena hutan mangrove dapat terus berkembang serta
mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh. Labil, karena mudah
sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali (Nugroho, Setiawan dan Harianto,
1991).
5.1. Rantai Makanan Pada Daerah Mangrove
Tumbuhan mangrove sebagaimana tumbuhan
lainnya, dapat mengkonversi cahaya matahari dan zat – zat hara (nutrien)
menjadi jaringan tumbuhan (bahan organik) melalui proses fotosintesis. Oleh karena itu, tumbuhan mangrove merupakan
sumber makanan potensial dalam berbagai bentuk, bagi semua biota yang hidup dan
berasosiasi dengan hutan mangrove.
Berbeda dengan ekosistem pesisir lainnya, komponen dasar dari rantai
makanan di ekosistem hutan mangrove bukanlah tumbuhan mangrove itu sendiri,
tetapi serasah yang bersal dari tumbuhan mangrove (seperti : daun, ranting,
batang dan lain – lain).
Sebagian serasah mangrove akan didekomposisi oleh bakteri
dan fungi menjadi zat hara (nutrien) terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung
oleh fitoplankton, algae ataupun tumbuhan mangrove itu sendiri khususnya dalam
proses fotosintesis, kemudian sebagian lagi sebagai partikel serasah (detritus)
yang dapat dimanfaatkan oleh ikan, udang, dan kepiting sebagai makanan. Proses makan – memakan dalam berbagai
kategori dan tingkatan biota membentuk suatu rantai makanan (Gambar 5).
Gambar
5. Rantai Makanan pada Daerah Hutan
Mangrove (Nontji, 1993)
5.2. Organisme Yang Berasosiasi
Kelompok fauna mangrove cenderung
membentuk percampuran antara 2 kelompok hewan yaitu : (1) kelompok fauna daratan
(terrestrial yang umumnya menempati bagian atas pohon mangrove terdiri atas :
insekta, ular, primata, dan burung.
Kelompok fauna ini tidak mempunyai kelompok adaptasi khusus untuk hidup
di dalam hutan mangrove, karena mereka melewatkan sebagian besar hidupnya di
luar jangkauan air laut pada bagian pohon yang tinggi, meskipun mereka dapat
mengumpulkan makanannya berupa hewan laut pada saat air surut, (2) kelompok
fauna perairan (aquatik), terdiri atas 2 tipe, yaitu : (a) fauna yang hidup di
kolom air terutama berbagai jenis ikan dan udang, (b) fauna yang hidup pada
substrat baik keras ( akar dan batang pohon mangrove) maupun sustrat yang lunak
(pasir dan Lumpur), terutama dari jenis kepiting, kerang, dan berbagai jenes
invertebrata lainnya (Gambar 6)
Gambar 6. Skema Penyebaran Makrofauna pada Mangrove
(Bengen, 2002)
5.3. Manfaat
Hutan Mangrove
Hutan mangrove
yang merupakan ekosistem peralihan antara darat dan laut, sudah sejak lama
diketahui mempunyai fungsi ganda dan merupakan mata rantai yang sangat penting
dalam memelihara keseimbangan siklus biologi di suatu perairan. Fungsi atau
manfaat tersebut, dapat merupakan manfaat langsung maupun tidak langsung. Manfaat langsung berupa sumber penghasil
kayu bakar dan arang, bahan bangunan, bahan baku pulp untuk pembuatan rayon,
sebagai tanin untuk pemanfaatan kulit, bahan pembuat obat-obatan, dan sebagainya.
Manfaat tak langsung berupa fungsi
fisik yaitu menjaga keseimbangan ekosistem perairan pantai, melindungi pantai
dan tebing sungai dari pengikisan atau erosi, menahan dan mengendapkan lumpur
serta menyaring bahan tercemar (Zaitunah, 2002).
Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam daerah
tropis yang mempunyai manfaat ganda dengan pengaruh luas ditinjau dari aspek
sosial, ekonomi dan ekologi . Besarnya peranan hutan mangrove atau ekosistem
hutan mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan , baik
yang hidup diperairan , diatas lahan maupun ditajuk-tajuk pohon mangrove serta
manusia yang bergantung pada hutan mangrove (Naamin, 1991).
Lebih
lanjut Romimotarto (2001), menyatakan Hutan Mangrove merupakan sumberdaya alam
yang penting di lingkungan pesisir, dan membagi manfaat Hutan Mangrove kedalam
tiga fungsi utama yaitu fungsi fisik, biologis, dan ekonomis. Fungsi fisik adalah sebagai penahan
angin, penyaring bahan pencemar, penahan ombak, pengendali banjir dan pencegah
intrusi air laut ke daratan. Fungsi
biologis adalah sebagai daerah pemijahan (spawning ground), daerah
asuhan (nursery ground), dan sebagai daerah mencari makan (feeding
ground) bagi ikan dan biota laut lainnya. Fungsi ekonomis adalah sebagai penghasil kayu untuk bahan baku dan
bahan bangunan, bahan makanan dan obat-obatan.
6. Metode
Penelitian participatory research
apraisal (PRA)
Jenis-jenis kegiatan penelitian,
pengembangan atau penerapan program yang banyak berkaitan dengan aspek
sosial-budaya dan sosial ekonomi masyarakat dikenal dengan istilah PRA (Participatory
Research Appraisal). Selain untuk kajian penelitian, teknik Participatory
Research Appraisal (PRA) dapat digunakan dalam kegiatan-kegiatan seperti:
pembelajaran, pendampingan, perencanaan, pengembangan hingga ke penerapan
program kegiatan, yang melibatkan masyarakat atau kelompok sasaran tertentu
(Handayani, 2009).
Prinsip-prinsip Penerapan PRA (Adimihardja &
Hikmat, 2003 dalam Handayani, 2009) :
1)
Masyarakat dipandang sebagai subjek bukan
objek.
2)
Peneliti memposisikan dirinya sebagai insider
bukan outsider Lebih baik mendekati benar daripada benar-benar salah untuk
menentukan parameter yang standar
3)
Masyarakat yang membuat peta, model, diagram,
pengurutan, memberi angka/nilai, mengkaji/menganalisis, memberikan contoh,
mengidentifikasi dan menyeleksi prioritas masalah, menyajikan hasil, mengkaji
ulang dan merencanakan kegiatan aksi.
4)
Pemberdayaan dan partisipatif masyarakat
dalam menentukan indikator sosial (indikator evaluasi partisipatif).
7. Uji
Coba Beberapa Teknik Penanaman Mangrove
Sesuai dengan sifat ekologisnya,
rehabilitasi dan penanaman mangrove dapat dilakukan pada muara-muaran sungai
atau pantai yang berlumpur, serta areal yang tidak mengalami ombak laut yang
besar. Masing-masing jenis mangrove memiliki tata cara penaman yang berbeda,
dalam kegiatan ini terdapat dua jenis yang akan ditanam yaitu : 1) Avicennia sp, 2) Sonneratia sp.
Adapun
tahap pelaksanaan sebagaimana yang dikemukakan Anwar (2004) :
·
Bibit
yang digunakan merupakan hasil penyiapan bibit dan pembibitan pada tahap sebelumnya
·
Persiapan
lahan meliputi kegiatan-kegiatan :
-
Pembuatan
jalur tanaman searah garis pantai atau melintang arah pasang surut dengan
menggunakan bantuan tali
-
Pembersihan
jalur tanaman selebar 1 m dari tumbuhan liar dan ranting
-
Pemasangan
ajir-ajir secara tegak sedalam minimal 0,5 m dengan jarak tanam sesuai tujuan,
jarak 1x1 m merupakan jarak yang disarankan untuk tujuan konservasi. Ajir
terbuat dari bambu atau kayu yang berukuran tinggi 1,5 m dan diameter minimal 2
cm. Ajir selain sebagai penanda antara satu bibit dengan bibit lainnya juga
dapat digunakan sebagai tiang penguat apabila semai atau benih diikatkan.
·
Penanaman
Bibit Mangrove
-
Lubang
tanam dibuat dekat ajir pada saat air surut dengan ukuran lebih besar dari
ukuran pot. Kedalaman lubang disesuaikan dengan tinggi tanah pada pot.
-
Penanaman
segera dilakukan setelah selesai pembuatan lubang dengan secara tegak. Sebelum
ditanamkan, kantong plastic harus dibelah secara hati-hati agar tidak merusak
perakaran dan plastik bekasnya disangkutkan ke ujung ajir sebagai penanda telah
dilaksanakan penanaman.
-
Lubang
tanam disekeliling bibit ditutup dan ditimbuni dengan tanah sampai sebatas
leher akar.
Gambar
7. Penanaman Mangrove
·
Pada
kondisi tapak khusus diterapkan perlakuan-perlakuan sesuai kondisi tapak yaitu
tapak yang berombak besar menggunakan bambu dengan teknik berikut (gambar 7) :
-
Bambu
digunakan sebagai tiang pancang (diameter minimal 7,5 cm dan panjang 1 m)
ditanam sedalam 0,5 m di samping semai mangrove. Batang semai diikatkan pada
tiang bambu tersebut. Agar lebih kokoh, bambu dapat dilubangi dulu dan
didalamnya diisi lumpur pada saat ditancap ke tanah.
-
Bambu
digunakan sebagai buis beton penguat tanaman
dengan cara mencari bambu besar (diameter berkisar 30 cm dan tinggi 1 m)
yang dilubangi ruas dalamnya, sementara ujungnya diruncingkan. Bambu tersebut
ditancapkan sedalam 0,5 m, kemudian diisi dengan lumpur dan semai ditanam
didalam bambu tersebut.
-
Bambu
digunakan sebagai pemecah ombak dengan cara meletakkan batang-batang bambu
secara berselang-seling di bagian luar tanaman mangrove dengan tujuan untuk
memperkecil deburan ombak sehingga dapat memperkecil kematian bibit yang
ditanam.
Gambar 8. Penggunaan bambu sebagai tiang pancan dan
buis beton penguat tanaman
8.
Pembuatan Model Tambak Ramah Lingkungan
Budidaya
tambak ramah lingkungan lebih sering disebut sebagai budidaya tambak yang
melestarikan mangrove sebagai jalur hijau atau penanaman mangrove di tambak (silvofishery).
Namun sesungguhnya konsep budidaya ramah lingkungan tidak hanya mencakup
penerapan jalur hijau (green belt) atau penanaman mangrove, tetapi juga
pada penerapan tata cara budidaya yang baik dalam arti tidak menggunakan bahan
baku produksi yang merusak lingkungan dan atau membahayakan keselamatan dan
kesehatan konsumen produk yang dihasilkan.
Terdapat dua penerapan
sederhana untuk budidaya tambak ramah lingkungan di Indonesia yaitu sistem
silvofishery dan polikultur. Pada kegiatan ini akan dicoba sistem sylvofishery.
Sylvofishery atau dikenal juga dengan sebutan wanamina terdiri dari dua kata
yaitu “sylvo’ yang berarti hutan/pepohonan (wana) dan “fishery” yang berarti
perikanan (mina). Silvofishery merupakan pola pendekatan teknis yang terdiri
atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan/udang dengan
kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan
mangrove.
Gambar 9. Mangrove
ditanam disepanjang tanggul tambak
Beberapa keuntungan yang
dapat diperoleh dengan menerapkan silvofishery, yaitu:
a.
Akar-akar
mangrove akan memegang tanah untuk menguatkan kontruksi pematang tambak dan
pematang tambak akan teduh oleh tajuk tanaman mangrove
b.
Petambak
dapat mengunakan daun mangrove terutama jenis Rhizophora sp, sebagai
pakan kambing.
c.
Peningkatan
produksi dari hasil tangkapan alam dan ini akan meningkatkan pendapatan
masyarakat petani ikan.
d.
Mencegah
erosi pantai dan intrusi air laut ke darat sehingga pemukiman dan sumber air
tawar dapat dipertahankan
e.
Terciptanya
sabuk hijau di pesisir (coastal green belt) serta ikut mendukung program
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global karena mangrove akan mengikat
karbondioksida dari atmosfer dan melindungi kawasan pemukiman dari
kecenderungan naiknya muka air laut.
f.
Mangrove
akan mengurangi dampak bencana alam, seperti badai dan gelombang air pasang,
sehingga kegiatan berusaha dan lokasi pemukiman di sekitarnya dapat
diselamatkan
Dalam
pengembangannya, tambak silvofishery telah banyak dimodifikasi, namun secara
umum terdapat (tiga) model tambak silvofishery, yaitu: model empang parit,
komplangan, dan jalur (Gambar 9).
Gambar 9. Model
Wanamina : (A) Empang Parit, (B) Komplangan, (C) Jalur, (D) Tanggul, Sumber : PMD Mahakam &
Fak. Perikanan UNMUL 2009
Pada dasarnya tahapan
pengelolaan tambak ramah lingkungan baik untuk komoditas udang windu, bandeng
dan rumput laut akan melalui beberapa tahap sederhana yaitu : a). Pemilihan
Lokasi; b). Persiapan lahan dan air (perbaikan pematang dan saluran,
pengeringan, pengapuran, pembasmian hama dan pemupukan); b). Pemilihan dan penebaran benur; c).
Pengelolaan kualitas air dan pakan; d). Pengelolaan kesehatan udang windu; e).
Panen dan pasca panen; f). Pencatatan dan evaluasi data harian di dalam buku
harian tambak (format)
9.
PERENCANAAN KEGIATAN
9.1.
Pembentukan Tim Pelaksana
Pembentukan tim dalam kegiatan menjadi
hal yang penting mengingat bahwa keberhasilan kegiatan yang berkaitan langsung
dengan masyarakat membutuhkan tingkat kepedulian dan kesabaran untuk mencapai
keberhasilan. Tim yang dibutuhkan diharapkan dari berbagai ilmu terkait,
diantaranya yang memiliki kemampuan dalam pengelolaan mangrove, seseorang yang
memiliki kemampuan dalam ilmu perikanan dan pertambakan serta seseorang yang memiliki kemampuan dalam
bidang komunikasi dan pemberdayaan masyarakat.
9.2.
Penyusunan Rencana dan Penyamaan
Persepsi
Penyusunan rencana umum dapat
dilakukan bersama, namun dapat juga merupakan ide salah satu anggota tim yang
kemudian dikembangkan bersama oleh seluruh anggota tim. Adanya latar belakang
ilmu yang berbeda akan melengkapi isi dari rencana kegiatan yang telah disusun
sebelumnya. Penyusunan rencana kegiatan selanjutnya diikuti kegiatan penyamaan
persepsi diantara anggota tim.
Persepsi yang sama diantara seluruh
anggota tim akan sangat membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan terutama
berkaitan dengan upaya mengatasi berbagai permasalahan yang mungkin akan muncul
di lapangan. Kesamaan dalam memahami rencana dan strategi kegiatan juga
dimaksudkan untuk menghindari kerancuan pengertian yang akan muncul karena
dapat menyebabkan kebingungan di masyarakat sasaran.
Kesamaan persepsi dapat dicapai
melalui berbagai sesi-sesi diskusi yang intensif antar anggota tim. Dalam
diskusi ini dapat juga disepakati pembagian tugas dan tanggung jawab antara
anggota tim.
9.3.
Pelaksanaan Kegiatan
Perencanaan kegiatan disusun sebagai acuan dalam pelaksanaan
kegiatan. Adapun rincian kegiatan dalam upaya perlindungan dan rehabilitasi
ekosistem mangrove di Kota Tarakan adalah sebagai berikut :
9.3.1. Survey dan Penetapan Lokasi Kegiatan
Penentuan lokasi kegiatan
ini diawali dengan mencari informasi dari laporan kegiatan dan literatur lain
yang berkaitan erat dengan kegiatan yang akan dilaksanakan serta informasi yang
ada di masyarakat
seperti karakteristik masyarakat dan lembaga pendukung disekitar lokasi
penanaman.
Untuk penentuan secara
pasti lokasi kegiatan, Tim kemudian melakukan survey lokasi dengan mengamati
secara visual kondisi di lapangan. Pelaksanaan survey tersebut dilengkapi
dengan kriteria fisik lokasi kegiatan yang diinginkan menjadi daerah sasaran,
diantaranya :
·
terbukti secara fisik mengalami abrasi
·
secara fisik masih terlihat adanya hutan mangrove dalam kondisi
rusak berat atau pernah ada hutan mangrove
·
sebagian besar masyarakatnya adalah petani tambak dan nelayan
·
tambak merupakan milik masyarakat setempat
·
areal tambak berlokasi dekat dengan pemukiman masyarakat
·
dapat memenuhi kriteria-kriteria teknis untuk dijadikan areal
tambak percontohan/percobaan
Penetapan lokasi kegiatan juga harus mempertimbangkan beberapa
hal berikut :
·
Potensi permasalahan lingkungan, yaitu adanya berbagai
permasalahan yang memang telah terjadi di lokasi tersebut, baik terlihat
langsung maupun informasi masyarakat seperti terjadi abrasi, berkurangnya hasil
perikanan, penurunan kualitas air dsb.
·
Kemampuan anggaran/ dana. Sebaiknya lokasi kegiatan dipilih yang
tidak terlalu jauh dari pusat organisasi kegiatan agar dana yang tersedia tidak
habis terserap untuk membiayai perjalanan. Selain itu juga memudahkan tim untuk
secara intensif berkunjung untuk melakukan pendampingan.
Adapun berdasarkan hasil
survey lokasi diatas, direncanakan kegiatan akan dilaksanakan di Desa
Binalatung yang terletak di pinggir Pantai Amal Lama. Secara fisik terlihat di
lokasi ini telah terjadi abrasi pantai yang sangat mengkhawatirkan. Beberapa
rumah warga harus dipindahkan karena apabila pasang laut datang, air telah
mencapai rumah dan beberapa tambak masyarakat telah rusak. Masyarakat di daerah
ini juga tergolong miskin dan memiliki mata pencaharian sebagai nelayan laut
dan nelayan tambak.
9.3.2. Perencanaan Teknis
Perencanaan teknis merupakan upaya untuk menyusun rencana kegiatan secara detil berdasarkan informasi dan data-data dari hasil survey lokasi dan studi literatur. Adapun beberapa hal yang dilakukan dalam perencanaan teknis sebagai berikut :
·
Mengkaji
ulang detil rencana kegiatan yang akan dilaksanakan, mulai dari metode, peralatan dan
bahan yang dibutuhkan, pelaksanaan kegiatan, monitoring dan evaluasi kegiatan.
·
Menentukan
pola pendekatan yang akan digunakan, dalam hal ini akan dipilih metode participatory rural appraisal, pertemuan formal dan informal, diskusi-diskusi, studi
banding dan metode lainnya. Pada bagian ini juga dipersiapkan berbagai materi
informasi yang akan digunakan seperti poster, slide, selebaran, film-film yang
berkaitan dengan pentingnya rehabilitasi mangrove.
·
Penajaman kelompok target prioritas (stakeholders). Yaitu menentukan siapa saja yang akan
memperoleh manfaat langsung dari keberadaan mangrove yang lestari, siapa saja
yang akan mendukung kelestarian mangrove pada saat ini dan di masa depan, siapa
saja yang potensial merusak dan stakeholder lainnya. Beberapa kelompok sasaran adalah tokoh
masyarakat dan pemuka agama, nelayan, petambak, sekolah, dan pemerintah daerah.
·
Persiapan
penguasaan teknik-teknik kegiatan yang akan dilakukan yaitu : teknik
PRA, teknik penanaman mangrove, dan teknik pembuatan tambak ramah lingkungan.
·
Penyusunan
langkah-langkah kegiatan sesuai dengan kondisi lapangan dan hasil pertimbangan
butir-butir diatas, sehingga
dapat ditentukan secara jelas tahap-tahap dan target waktu yang dibutuhkan bagi
setiap kegiatan.
9.3.3. Pelaksanaan
Kegiatan di lapangan
Kegiatan ini terbagi menjadi dua bagian yaitu : 1) Tahap pendekatan kepada kelompok sasaran; 2) Uji coba beberapa metode penanaman mangrove pada lokasi yang ditetapkan; 3) Model tambak ramah lingkungan. Adapun rincian dari masing-masing kegiatan tersebut adalah :
1).
Tahap pendekatan kepada kelompok sasaran
Pendekatan ke stakeholder atau
kelompok sasaran merupakan hal penting yang harus dilakukan pada tahap awal
kegiatan. Kegiatan awal ini akan sangat menentukan keberhasilan kegiatan
selanjutnya. Pada tahap ini, tim pelaksana harus berupaya untuk dapat menjalin
hubungan kerjasama dengan masyarakat. Di Desa Binalatung pimpinan desa adalah
seorang Lurah sehingga tahap awal yang dilakukan tim adalah menyampaikan tujuan
dan rencana kegiatan kepada Lurah Pantai Amal.
Dalam kegiatan ini Tim mencatat
setiap tanggapan yang datang dari Lurah (Kepala Desa), dapat juga mulai digali
infromasi tentang siapa saja tokoh masyarakat yang perlu dikunjungi. Kunjungan
ke tokoh masyarakat sebaiknya didampingi oleh perangkat kelurahan (desa) agar
tokoh masyarakat dan masyarakat secara umum mengetahui bahwa keberadaan Tim
atas persetujuan Lurah (Kepala Desa).
Selain pendekatan kepada perangkat
desa dan tokoh masyarakat, Tim juga harus mulai memperkenalkan diri kepada
Ketua RT dan warga sekitar tempat Tim akan mendirikan pusat kegiatan. Informasi
yang diperoleh dari Lurah (Kepala Desa) dan Tokoh masyarakat sebaiknya di cek
dan ricek kepada masyarakat, karena seringkali terdapat perbedaan persepsi
antara warga dengan Lurah (Kepala Desa). Dalam kesempatan ini juga Tim harus mulai
dapat menggali potensi konflik sosial yang mungkin saja berkembang di
masyarakat. Misalnya adanya kelompok-kelompok yang saling bertentangan dalam
usaha atau mata pencaharian dsb.
Proses pendekatan ini diperkirakan
akan berjalan maksimal dalam waktu ± 1 bulan dan semakin lama akan semakin baik
sebelum mengajak warga untuk terlibat. Dalam proses pendekatan ini, Tim
sebaiknya tinggal dan bergaul dengan masyarakat serta mengikuti seluruh
kegiatan yang dilakukan masyarakat seperti shalat berjamaah, perhelatan, pergi
ke tambak dan lain-lain. Namun demikian apabila waktu yang tersedia singkat,
dapat saja dalam kegiatan ini Tim melakukan pendekatan dengan langsung
mengutarakan maksud dan tujuan kegiatan sekaligus mengajak warga untuk terlbat.
Melalui kegiatan ini dharapkan masyarakat sekitar lokasi penanaman telah
memiliki kemauan untuk terlibat dalam upaya rehabilitasi mangrove dan memiliki
pengetahuan teknik budidaya mangrove.
Pendekatan kepada kelompok sasaran
lainnya seperti sekolah dan pemerintah daerah lainnya dapat dilakukan bersamaan
pendekatan kepada masyarakat. Kedua kelompok sasaran ini juga memiliki peran
yang penting dalam mendukung keberhasilan pendampingan kepada masyarakat.
2)
Tahap
pengenalan kegiatan kepada kelompok sasaran untuk penanaman mangrove dan tambak
ramah lingkungan
Setelah
masyarakat terbiasa dengan kehadiran tim, untuk pelaksanaan kegiatan
selanjutnya yaitu penanaman mangrove dan tambak ramah lingkungan dimulai dengan
diskusi-diskusi dengan menerapkan metode PRA (Partisipatory Rural Appraisal).
Kegiatan ini sebaiknya melibatkan seluruh warga masyarakat dengan mengundang
seluruh tokoh masyarakat dan perangkat desa.
Untuk
itu maka perlu diketahui kebiasan-kebiasaan yang berkembang di masyarakat,
seperti kapan mereka biasa berkumpul, dimana tempatnya, bagaimana cara
mengundangnya. Bagi warga di Desa Binalatung yang sebagian besar warganya
adalah nelayan laut dan tambak, maka perlu diketahui kapan warga tidak pergi
kelaut, dengan harapan seluruh warga dapat terlibat dalam kegiatan ini.
Pada kegiatan ini, tim dapat mulai
menggali berbagai permasalahan yang berkaitan dengan kondisi desa dan mata
pencaharian warga terutama kegiatan nelayan laut dan tambak. Masyarakat coba
diarahkan untuk dapat membandingkan kondisi dahulu dan sekarang serta hal-hal
yang diperkirakan menjadi penyebab perubahan tersebut. Berdasarkan hal-hal
tersebut, tim dapat mulai memberikan gambaran akan pentingnya keberadaan Hutan
Mangrove yaitu fungsi-fungsinya secara ekologis dan ekonomis yang berdampak
terhadap kehidupan masyarakat. Misalnya bahwa mangrove dapat menahan gempuran
ombak yang mengakibatkan abrasi pantai. Mangrove merupakan tempat ikan dan
udang meletakkan telurnya dan melakukan pembesaran anak-anaknya (pemijahan),
tempat mencari makan, sehingga produksi ikan dan udang sangat tergantung pada
keberadaan hutan mangrove.
Dalam diskusi-diskusi ini juga
dibentuk kelompok-kelompok untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan selanjutnya. Pembentukan
kelompok sebaiknya atas inisiatif warga, meski sulit dilakukan, namun Tim harus
dapat menumbuhkan kepercayaan warga bahwa pembentukan kelompok akan sangat
bermanfaat untuk melaksanakan berbagai kegiatan. Kelompok yang terbentuk
berdasarkan inisiatif warga diharapkan akan dapat berjalan dengan baik sesuai
yang diharapkan.Pada pertemuan-pertemuan selanjutnya diharapkan warga
masyarakat memiliki peran aktif seperti menentukan jadwal pertemuan dan
mengundang anggota kelompoknya untuk hadir.
3) Uji coba beberapa teknik
penanaman mangrove pada lokasi yang ditetapkan
Pelibatan masyarakat pada tahap
selanjutnya dimulai dari penentuan lokasi penanaman, penyiapan bibit,
pembibitan, penyiapan areal tanam, penanaman, pemantauan pertumbuhan dan
pemeliharaan. Pelibatan ini tidak harus menyebabkan masyarakat kehilangan waktu
untuk aktivitas rutin sehari-hari, namun disesuaikan dengan waktu yang
dimiliki. Adanya kelompok-kelompok yang telah terbentuk dapat memudahkan upaya
untuk pelibatan masyarakat dalam penanaman mangrove. Teknik penanaman dilakukan
mengikuti teknik yang telah dibuat oleh tim (lihat penjelasan teknik penanaman
mangrove) dengan menyesuaikan kondisi di lapangan dan masukan dari masyarakat.
Penanaman mangrove dapat juga
diselaraskan dengan kegiatan yang dilakukan oleh instansi terkait misalnya
Dinas Kehutanan dengan melibatkan sekolah-sekolah sehingga warga merasa
terdorong karena adanya kepedulian dari pihak-pihak lain.
4)
Pembuatan
contoh tambak ramah lingkungan
Untuk
kegiatan ini tim perlu melakukan diskusi dengan kelompok masyarakat untuk
menentukan lokasi tambak percontohan dengan berdasarkan kriteria-kriteria yang
telah ditetapkan. Penentuan lokasi bersama diharapkan akan menghindarkan rasa
iri dari kelompok lain. Kriteria yang ditetapkan diantaranya :
a)
Tambak
merupakan milik warga dan bukan merupakan tanah sewa dari pihak lain yang tidak
terlibat dalam kegiatan ini, sehingga dapat menjamin keberlanjutan kegiatan ini
b)
Tambak
harus dalam kondisi sehat dan bukan tambak yang sedang terkena penyakit atau
wabah.
c)
Memungkinkan
untuk dilakukan penanaman mangrove misalnya tanggul yang cukup lebar atau
tersedia lahan disekitar tambak yang dapat ditanami mangrove.
d)
Lokasi
tambak mudah dijangkau oleh seluruh anggota masyarakat dan tim yang terlibat
agar memudahkan setiap tahap kegiatan lainnya seperti proses pembelajaran bagi
kelompok lain, pemantauan tambak dan pemungutan hasilnya.
10. Monitoring
dan Evaluasi
10.1. Monitoring
Beberapa permasalahan yang seringkali muncul dalam kegiatan ini
adalah adanya konflik kepentingan antara berbagai pihak, efektivitas
pengelolaan, permasalahan teknis (hama, penyakit/predator dan gangguan
manusia), kondisi alam (banjir, pasang surut tak menentu), kondisi pasar
(kenaikan/penurunan harga) dan
faktor-faktor dari luar ataupun dari kegiatan itu sendiri.
Tahap monitoring diharapkan dapat mendeteksi sedari awal berbagai
permasalahan tersebut, oleh karenanya tahap monitoring sebaiknya dilakukan
sejak awal proses kegiatan yaitu sejak tahap pendekatan dan diskusi-diskusi
intensif dengan masyarakat berkaitan dengan penanaman mangrove dan tambak
percontohan. Melalui monitoring yang dilakukan sejak awal dan berkelanjutan
diharapkan setiap permasalahan dapat segera diatasi dan tidak terakumulasi
menjadi permasalahan yang berat.
10.2.
Evaluasi
Tahap evaluasi dilakukan terhadap berbagai masukan dan hasil
monitoring dari seluruh proses kegiatan dengan melibatkan masyarakat dan
stakeholder lainnya. Melalui tahap ini akan diketahui kelemahan dan kelebihan
dari seluruh proses kegiatan yang dilakukan, teknik-teknik penanaman mangrove
dan pembuatan tambak percontohan.
Evaluasi dilakukan dengan melibatkan
seluruh pihak agar tetap terjalin perasaan memiliki terhadap kegiatan yang ada.
Selain itu, diharapkan juga akan diperoleh kesepakatan bersama terhadap hal-hal
yang menentukan keberhasilan dan kegagalan dari kegiatan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,
2010. Buku Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Tarakan Tahun 2010. Badan
Pengelolaan Lingkungan Hidup Kota Tarakan.
Anwar,
C. 2004. Teknologi Rehabilitasi Lahan Mangrove Terdegradasi. Makalah utama pada
Ekspose Penerapan Hasil Litbang dan Konservasi Alam. Palembang, 15 Desember
2004.
Atmawidjaja, R. 1987. Konservasi dalam Rangka Pemanfaatan Hutan
Mangrove di Indonesia dalam Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. Proyek
Penelitian Lingkungan Hidup-LIPI. Jakarta.
Bengen, G.D. 2002.
Pengelolaan Ekosistem Mangrove.
PKSPL – IPB. Bogor
Hadipurnomo.
1995. Fungsi dan Manfaat Mangrove di dalam Mintakat Pantai (Coastal Zone). Duta
Rimba/Maret-April/177-178/XXI/1995. Perum Perhutani. Jakarta.
Handayani, S. 2009. Penerapan Metode Penelitian Participatory Research Apraisal Dalam
Penelitian Permukiman Vernakular (Permukiman Kampung Kota). Prosiding Seminar Nasional Penelitian
Arsitektur – Metoda Dan Penerapannya Seri 2 UNDIP Semarang.
Naamin,
N. 1991. Penggunaan Lahan Mangrove Untuk Budidaya Tambak Keuntungan dan
Kerugiannya. Dalam Subagjo Soemodihardo et al. Proseding Seminar IV
Ekosistem Mangrove. Panitia Nasional Pangan MAB Indonesia LIPI.
Nontji, A. 1993.
Laut Nusantara. Penerbit PT.
Djambatan. Jakarta.
Kusmana, C. 2002. Respon Mangrove Terhadap
Pencemaran. Departemen
Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB.
Pariyono.
2006. Kajian Potensi Kawasan Mangrove Dalam Kaitannya
Dengan Pengelolaan Wilayah Pantai Di Desa Panggung, Bulakbaru, Tanggultlare,
Kabupaten Jepara. Tesis. Program
Pascasarjana Magister Manajemen Sumber Daya Pantai Universitas Diponegoro
Semarang.
Romimohtarto, K., dan
S. Juana, 2001. Biologi Laut Ilmu
Pengetahuan tentang Biologi Laut. Penerbit PT. Djambatan Jakarta.
Savitri, L.A dan M.
Khazali. 1999. Pemberdayaan Masyarakat Dalam
Pengelolaan Wilayah Pesisir Pengalaman Pelaksanaan Pengembangan Tambak Ramah
Lingkungan Dan Rehabilitasi Mangrove di Indramayu. Kerjasama : PKSPL IPB,
Wetlands International - Indonesia Programmed dan Netherlands Ministry of
Agriculture, Nature Management and Fishery.
Sualia,
Ita. Eko Budi Priyanto dan I Nyoman N. Suryadiputra. Panduan Pengelolaan
Budidaya Tambak Ramah Lingkungan di Daerah Mangrove. Wetlands International
- Indonesia Programmed
Zaitunah,
2002. Kajian Keberadaan Hutan Mangrove : Peran, Dampak Kerusakan Dan Usaha
Konservasi. Dipublikasikan oleh Digital library Universitas Sumatera Utara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar