Minggu, 01 Juli 2012

Ekosistem terumbu karang di kota tarakan


1.   PENDAHULUAN
Wilayah pesisir dan lautan mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia. Kedua wilayah tersebut merupakan lahan kedua yang merupakan tumpuan harapan bagi pembangunan Indonesia di masa mendatang. 63 % wilayah teritorial Indonesia yang merupakan pesisir dan lautan, memiliki sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang kaya dan beragam, antara lain hutan mangrove, terumbu karang, perikanan, bahan tambang, jasa perhubungan dan pariwisata (Pariyono, 2006).
Salah satu ekosistem utama yang dijumpai di wilayah pesisir adalah ekosistem hutan mangrove.  Dari sekitar 15,9 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, dari luas tersebut sekitar 27 % berada di Indonesia.  Lebih dari itu hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem alamiah yang unik dan mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang cukup tinggi.  Disamping menghasilkan bahan dasar untuk keperluan rumah tangga dan industri, seperti kayu bakar, arang, kertas, dan rayon yang dalam konteks ekonomi mengandung nilai komersial tinggi, selain itu hutan mangrove juga memiliki fungsi – fungsi ekologis yang penting antara lain sebagai penyedia nutrien, sebagai tempat pemijahan, tempat pengasuhan, dan tempat mencari makan bagi biota – biota tertentu.  Hutan mangrove juga memiliki fungsi fisik yaitu penahan abrasi pantai.  (Bengen, 2002).
Perhatian terhadap keberadaan Hutan Mangrove memang tidak sebesar yang terjadi pada hutan-hutan di daratan karena luasannya yang hanya sedikit. Namun, sebagai negara kepulauan dengan garis pantai yang panjang keberadaan Hutan Mangrove menjadi sangat penting karena Hutan Mangrove membentuk suatu ekosistem peralihan antara laut dan daratan yang memiliki pengaruh signifikan bagi kedua wilayah tersebut.
Berbagai kegiatan pemanfaatan Hutan Mangrove telah dilakukan masyarakat sejak dulu seperti menebang untuk memperoleh kayu bakar, arang, daun-daun untuk atap rumah dan sebagainya, serta penangkapan ikan, udang dan jenis-jenis biota air lainnya. Kegiatan-kegiatan tersebut pada dasarnya tidak mempengaruhi kondisi lingkungan sekitar bila dilakukan dengan memperhatikan daya dukung lingkungan Hutan Mangrove, namun pemanfaatan yang berorientasi pada usaha komersial dan dilakukan secara besar-besaran pada gilirannya membawa dampak negatif terhadap lingkungan sekitarnya.
Penilaian yang kurang tepat terhadap ekosistem mangrove turut berperan pada kecepatan penurunan luas areal hutan mangrove. Hutan Mangrove selama ini lebih dianggap sebagai sarang nyamuk (penyakit) serta tidak bernilai (hanya merupakan waste land). Adapun Hutan Mangrove dianggap akan lebih bernilai secara ekonomi apabila dikonversi menjadi peruntukan lain seperti tambak, industri atau pemukiman. Kondisi ini menurut Emil Salim (1986); Hadipurnomo (1995) juga disebabkan mekanisme ekonomi yang hanya menampung peranan Hutan Mangrove pada fungsi-fungsi yang dapat dinilai dengan uang, tanpa memperhitungkan fungsi-fungsi lain yang juga sangat bernilai namun tak memiliki harga pasar.

2.   Permasalahan Hutan Mangrove Kota Tarakan
            Kota Tarakan merupakan kota pulau yang terletak di bagian utara Kalimantan Timur. Memiliki posisi strategis diantara kabupaten sekitar menjadikan Kota Tarakan sebagai “kota transit” yang penting setelah Kota Balikpapan. Kota Tarakan terdiri dari 2 pulau yaitu Pulau Tarakan dan Pulau Sadau dengan luas daratan ± 250,80 km2, sehingga keterbatasan lahan menjadi salah satu permasalahan dalam aktivitas pembangunan karena sangat kecil kemungkinan untuk memperluas wilayah daratan. Permasalahan kebutuhan akan lahan tersebut menjadi salah satu faktor penyebab degradasi hutan di Kota Tarakan dimana hutan dialih-fungsikan untuk kawasan pemukiman, industri, perdagangan, pelebaran jalan, perkantoran, bahkan pembangunan kampus, sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan. Pada daerah-daerah pesisir tidak luput dari kegiatan konversi, baik dalam rangka kegiatan pembangunan maupun pemanfaatan flora dan fauna bagi memenuhi kebutuhan masyarakat. Kondisi ini diperparah oleh masih rendahnya kesadaran dan tanggung jawab masyarakat untuk ikut melestarikan kawasan hutan baik di darat (Hutan Lindung dan Hutan Kota) maupun di daerah pesisir (Hutan Mangrove).
            Kawasan Hutan Mangrove berdasarkan RTRW Kota Tarakan Tahun 2003-2013 terbagi dalam 4 (empat) kecamatan dengan luas 766 Ha meliputi Kecamatan Tarakan Utara  yaitu Kelurahan Juata Laut dengan luas ± 363 Ha, Kecamatan Tarakan Tengah yaitu Kelurahan Kampung Satu/ Skip, Kelurahan Selumit Pantai dengan luas ± 89 Ha, Kecamatan Tarakan Timur yaitu Kelurahan Pantai Amal dan Kelurahan Mamburungan dan Kelurahan Lingkas Ujung dengan luas ± 203 Ha, dan Kecamatan Tarakan Barat yaitu Kelurahan Karang Rejo dan Karang Anyar Pantai dengan luas ± 110 Ha.

Gambar 1. Peta Lokasi Mangrove, Terumbu Karang dan Padang Lamun
            Berdasarkan interpretasi citra satelit tahun 2001, luasan hutan mangrove di Kota Tarakan sekitar 1.587 hektar yang tersebar di pesisir dan pulau-pulau kecil di Kota Tarakan. Pada tahun 2005 luas hutan mangrove menjadi 766 hektar. Dalam waktu  5 tahun (dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2006) telah terjadi  penurunan luasan  hutan  mangrove sebesar 51,73 %, dengan asumsi interpretasi citra satelit kebenarannya sebanding atau sesuai dengan kondisi riil). Namun demikian pada tahun 2009 diperkirakan terjadi peningkatan menjadi 982,55 hektar dan tahun 2010 menjadi 1.026 hektar (Anonim, 2010).
Gambar 2. Perkembangan Luas Hutan Mangrove di Kota Tarakan
            Hasil Ekspedisi Mangrove pada tanggal 8 sampai dengan 13 Juni 2009 kerjasama antara Pemerintah Kota Tarakan dan Deutscher Entwicklungsdients menunjukkan status mangrove greenbelt Pulau Tarakan dapat dikategorikan sedang dan buruk dibeberapa  lokasi berdasarkan pada pengamatan visual dari jumlah anakan yang ada di setiap lokasi.
Degradasi Hutan Mangrove di Kota Tarakan menyebabkan beberapa permasalahan di wilayah pesisir Kota Tarakan diantaranya :
2.1.  Abrasi Pantai
Wilayah Kota Tarakan bagian timur menghadap langsung ke Laut Sulawesi sehingga Pantai Timur Kota Tarakan memiliki potensi abrasi yang cukup tinggi. Hal itu terjadi di Pantai Amal yang merupakan daerah Pantai Timur Kota Tarakan memiliki tingkat abrasi tertinggi (3 – 5 m/tahun)  (Anonim, 2010).
Berkurangnya vegetasi mangrove di pesisir timur Kota Tarakan telah menyebabkan garis pantai mendekati daratan sehingga permukaan air laut semakin tinggi. Kondisi ini dimulai sejak maraknya pembukaan areal tambak tradisional oleh masyarakat maupun tambak modern yang dikelola oleh pemilik modal (industri).   
Berbagai kerugian akibat abrasi pantai terutama dirasakan masyarakat yang bermukim disepanjang pantai, seperti adanya masyarakat yang harus memindahkan rumahnya karena tanahnya terkikis oleh gelombang pasang. Pantai Amal yang menjadi tujuan wisata masyarakat Kota Tarakan tidak lagi indah karena surutnya air sangat jauh kearah laut.      
2.2.  Penurunan Produksi Sektor Perikanan
Rusaknya ekosistem mangrove dan terumbu karang telah mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan sumber daya ikan sehingga terjadi penurunan produksi disektor perikanan terutama pada hasil panen tambak (Anonim, 2010). Kondisi ini bila tidak segera ditangani akan merugikan masyarakat yang bergantung pada hasil-hasil perikanan dan indsutri yang merupakan penyumbang bagi Pendapatan Asli Daerah.
2.3.  Intrusi Air Laut
Intrusi air laut ke darat merupakan masalah yang serius bagi wilayah pesisir. Adanya pemanfaatan air tanah yang berlebihan mengakibatkan turunnya permukaan air tanah yang selanjutnya akan memudahkan terjadinya intrusi air laut ke darat. Penebangan hutan bakau yang di konversi menjadi tambak dan permukiman di daerah pantai telah mengakibatkan terjadinya intrusi air laut ke darat. Intrusi air laut di muara merupakan salah satu permasalahan yang banyak dijumpai dengan fluktuasi saat musim kemarau dan penghujan yang besar. Dengan kenaikan air laut, maka volume air laut yang mendesak ke dalam sungai akan semakin besar. Air laut yang mendesak masuk jauh ke dalam melalui sungai ini juga merupakan masalah bagi kota yang menggantungkan sumber air bakunya dari sungai.   
3.   Tujuan dan Sasaran Kegiatan
Kesadaran akan pentingnya ekosistem mangrove bagi keberlangsungan dukungan lingkungan bagi kehidupan masyarakat di Kota Tarakan telah mendorong pemerintah Kota Tarakan melakukan berbagai upaya untuk merehabilitasi dan melindungi ekosistem Mangrove diantaranya :
(1)   mengeluarkan peraturan daerah yang berkaitan dengan ekosistem Mangrove diantaranya Perda No 04 Tahun 2002 Tentang Larangan Dan Pengawasan Hutan Mangrove Di Kota Tarakan dan SK Walikota No 591/HK-V/257/2001 tentang Pemanfaatan Hutan Mangrove Kota Tarakan;
(2)   membentuk 3 (tiga) model pengelolaan konservasi hutan mangrove yaitu : KKMB (Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan seluas sekitar 9 Ha yang secara intensif dikelola oleh pemerintah kota, KKMM (Kawasan Konservasi  Mangrove Mamburungan) seluas sekitar 200 Ha dikelola dengan pola kerjasama masyarakat dengan pemerintah kota, dan KKMA (Kawasan Konservasi Mangrove Aurora) seluas 4 Ha di kawasan industri cold storage udang ekspor yang dikelola oleh dunia usaha PT Mustika Aurora.
(3)   berbagai kegiatan penanaman mangrove oleh dinas-dinas terkait, kalangan usaha, pendidikan dan LSM di kawasan pesisir Kota Tarakan.
            
Gambar 3. Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan (KKMB) Kota Tarakan
Meski demikian masih terdapat beberapa permasalahan dalam upaya perlindungan dan pelestarian Hutan Mangrove diantaranya adalah rendahnya persen tumbuh tanaman mangrove serta rendahnya kesadaran masyarakat untuk ikut berperan aktif. Kondisi ini menyebabkan ekosistem mangrove yang terjaga hanya pada kawasan-kawasan konservasi, sementara pada kawasan hutan mangrove lainnya terus mengalami degradasi.
Berdasarkan hal tersebut dirasa penting untuk melakukan suatu kegiatan rehabilitasi Hutan Mangrove dengan melibatkan masyarakat serta perapan teknik penanaman mangrove yang sesuai dengan kondisi hutan mangrove tersebut.
Adapun tujuan akhir yang ingin dicapai adalah meningkatnya kesadaran masyarakat dalam ikut melestarikan ekosistem mangrove yang dapat diukur dari meningkatnya luasan kawasan hutan mangrove dipesisir Kota Tarakan.
Sasaran dari kegiatan ini adalah masyarakat di Desa Binalatung Pantai Amal Lama yang memiliki ekosistem mangrove dengan kategori rusak.

4.   Strategi Kegiatan
Sebagaimana maksud dan tujuan dari kegiatan ini adalah untuk melibatkan masyarakat dalam upaya rehabilitasi ekosistem mangrove di wilayah pesisir Kota Tarakan, maka hal penting yang harus diperhatikan adalah bagaimana agar kegiatan ini benar-benar dapat diterima, diterapkan dan diambil manfaatnya oleh masyarakat setempat terutama setelah kegiatan ini selesai dilaksanakan.
Menanam mangrove tidak akan berguna apabila tidak memberi manfaat bagi masyarakat secara ekonomi, oleh karenanya dalam kegiatan ini akan dilakukan dua kegiatan yaitu penanaman mangrove dan membuat suatu model tambak ramah lingkungan.
Dalam kegiatan ini, dikembangkan strategi dimana tim pelaksana hanya sebagai fasilitator sedangkan pelaku aktif adalah masyarakat yang akan terlibat secara aktif mulai dari meninjau kembali berbagai aktifitas yang tercantum dalam perencanaan program kegiatan, pelaksanaan kegiatan, monitoring dan evaluasi kegiatan di lapangan.

5.    Mangrove, Komunitas Mangrove Dan Ekosistem Mangrove
Mangrove merupakan tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut antara garis pasang tertinggi dengan garis surut terendah di wilayah tropika dan subtropika. Tumbuh-tumbuhan tersebut berasosiasi dengan organisme lain (fungi, mikroba, alga, fauna, dan tumbuhan lainnya) membentuk komunitas mangrove. Selanjutnya komunitas tersebut berinteraksi dengan faktor abiotik (iklim, udara, tanah, air) membentuk ekosistem mangrove (Kusmana, 2002).
 Menurut Bengen (2000), ekosistem hutan mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus) yang termasuk ke dalam delapan famili. Adapun di Indonesia keanekaragaman jenis ekosistem hutan mangrove merupakan yang tertinggi di dunia, seluruhnya tercatat 89 jenis. Beberapa jenis pohon yang banyak dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah Bakau (Rhizophora. spp.), Api-api (Avicennia spp.), Pedada (Sonneratia spp.), Tanjang (Bruguiera spp.), Nyirih (Xylocarpus spp.), Tenger (Ceriops spp) dan, Buta-buta (Exoecaria spp.) (Gambar 3).
 










Gambar 4.  Struktur dan Zonasi Hutan Mangrove di Daerah Pantai
Selain tumbuhan, banyak jenis binatang yang berasosiasi dengan mangrove, baik di lantai hutan, melekat pada tumbuhan mangrove dan ada pula beberapa jenis binatang yang hanya sebagian dari daur hidupnya membutuhkan lingkungan hutan mangrove. Jenis ini terutama Crustaceae, Mollusca dan ikan. Hal ini menunjukkan pentingnya mangrove bagi kehidupan binatang (Atmawidjaja, 1987).
Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis namun labil. Kompleks, karena di dalam hutan mangrove dan perairan/ tanah di bawahnya merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Dinamis, karena hutan mangrove dapat terus berkembang serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh. Labil, karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali (Nugroho, Setiawan dan Harianto, 1991).
5.1.  Rantai Makanan Pada Daerah Mangrove
Tumbuhan mangrove sebagaimana tumbuhan lainnya, dapat mengkonversi cahaya matahari dan zat – zat hara (nutrien) menjadi jaringan tumbuhan (bahan organik) melalui proses fotosintesis.  Oleh karena itu, tumbuhan mangrove merupakan sumber makanan potensial dalam berbagai bentuk, bagi semua biota yang hidup dan berasosiasi dengan hutan mangrove.  Berbeda dengan ekosistem pesisir lainnya, komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem hutan mangrove bukanlah tumbuhan mangrove itu sendiri, tetapi serasah yang bersal dari tumbuhan mangrove (seperti : daun, ranting, batang dan lain – lain).
Sebagian serasah mangrove akan didekomposisi oleh bakteri dan fungi menjadi zat hara (nutrien) terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton, algae ataupun tumbuhan mangrove itu sendiri khususnya dalam proses fotosintesis, kemudian sebagian lagi sebagai partikel serasah (detritus) yang dapat dimanfaatkan oleh ikan, udang, dan kepiting sebagai makanan.  Proses makan – memakan dalam berbagai kategori dan tingkatan biota membentuk suatu rantai makanan (Gambar 5).

Gambar 5.  Rantai Makanan pada Daerah Hutan Mangrove (Nontji, 1993)

 

5.2.  Organisme Yang Berasosiasi

Kelompok fauna mangrove cenderung membentuk percampuran antara 2 kelompok hewan yaitu : (1) kelompok fauna daratan (terrestrial yang umumnya menempati bagian atas pohon mangrove terdiri atas : insekta, ular, primata, dan burung.  Kelompok fauna ini tidak mempunyai kelompok adaptasi khusus untuk hidup di dalam hutan mangrove, karena mereka melewatkan sebagian besar hidupnya di luar jangkauan air laut pada bagian pohon yang tinggi, meskipun mereka dapat mengumpulkan makanannya berupa hewan laut pada saat air surut, (2) kelompok fauna perairan (aquatik), terdiri atas 2 tipe, yaitu : (a) fauna yang hidup di kolom air terutama berbagai jenis ikan dan udang, (b) fauna yang hidup pada substrat baik keras ( akar dan batang pohon mangrove) maupun sustrat yang lunak (pasir dan Lumpur), terutama dari jenis kepiting, kerang, dan berbagai jenes invertebrata lainnya  (Gambar 6)





 









Gambar 6. Skema Penyebaran Makrofauna pada Mangrove (Bengen, 2002)

5.3.  Manfaat Hutan Mangrove
Hutan mangrove yang merupakan ekosistem peralihan antara darat dan laut, sudah sejak lama diketahui mempunyai fungsi ganda dan merupakan mata rantai yang sangat penting dalam memelihara keseimbangan siklus biologi di suatu perairan. Fungsi atau manfaat tersebut, dapat merupakan manfaat langsung maupun tidak langsung. Manfaat langsung berupa sumber penghasil kayu bakar dan arang, bahan bangunan, bahan baku pulp untuk pembuatan rayon, sebagai tanin untuk pemanfaatan kulit, bahan pembuat obat-obatan, dan sebagainya. Manfaat tak langsung berupa fungsi fisik yaitu menjaga keseimbangan ekosistem perairan pantai, melindungi pantai dan tebing sungai dari pengikisan atau erosi, menahan dan mengendapkan lumpur serta menyaring bahan tercemar (Zaitunah, 2002).
Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam daerah tropis yang mempunyai manfaat ganda dengan pengaruh luas ditinjau dari aspek sosial, ekonomi dan ekologi . Besarnya peranan hutan mangrove atau ekosistem hutan mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan , baik yang hidup diperairan , diatas lahan maupun ditajuk-tajuk pohon mangrove serta manusia yang bergantung pada hutan mangrove (Naamin, 1991).
Lebih lanjut Romimotarto (2001), menyatakan Hutan Mangrove merupakan sumberdaya alam yang penting di lingkungan pesisir, dan membagi manfaat Hutan Mangrove kedalam tiga fungsi utama yaitu fungsi fisik, biologis, dan ekonomis. Fungsi fisik adalah sebagai penahan angin, penyaring bahan pencemar, penahan ombak, pengendali banjir dan pencegah intrusi air laut ke daratan. Fungsi biologis adalah sebagai daerah pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground), dan sebagai daerah mencari makan (feeding ground) bagi ikan dan biota laut lainnya. Fungsi ekonomis adalah sebagai penghasil kayu untuk bahan baku dan bahan bangunan, bahan makanan dan obat-obatan.

6.    Metode Penelitian participatory research apraisal (PRA)
Jenis-jenis kegiatan penelitian, pengembangan atau penerapan program yang banyak berkaitan dengan aspek sosial-budaya dan sosial ekonomi masyarakat dikenal dengan istilah PRA (Participatory Research Appraisal). Selain untuk kajian penelitian, teknik Participatory Research Appraisal (PRA) dapat digunakan dalam kegiatan-kegiatan seperti: pembelajaran, pendampingan, perencanaan, pengembangan hingga ke penerapan program kegiatan, yang melibatkan masyarakat atau kelompok sasaran tertentu (Handayani, 2009).
Prinsip-prinsip Penerapan PRA (Adimihardja & Hikmat, 2003 dalam Handayani, 2009) :
1)  Masyarakat dipandang sebagai subjek bukan objek.
2)  Peneliti memposisikan dirinya sebagai insider bukan outsider Lebih baik mendekati benar daripada benar-benar salah untuk menentukan parameter yang standar
3)  Masyarakat yang membuat peta, model, diagram, pengurutan, memberi angka/nilai, mengkaji/menganalisis, memberikan contoh, mengidentifikasi dan menyeleksi prioritas masalah, menyajikan hasil, mengkaji ulang dan merencanakan kegiatan aksi.
4)  Pemberdayaan dan partisipatif masyarakat dalam menentukan indikator sosial (indikator evaluasi partisipatif).

7.    Uji Coba Beberapa Teknik Penanaman Mangrove
Sesuai dengan sifat ekologisnya, rehabilitasi dan penanaman mangrove dapat dilakukan pada muara-muaran sungai atau pantai yang berlumpur, serta areal yang tidak mengalami ombak laut yang besar. Masing-masing jenis mangrove memiliki tata cara penaman yang berbeda, dalam kegiatan ini terdapat dua jenis yang akan ditanam yaitu : 1) Avicennia sp, 2) Sonneratia sp.
Adapun tahap pelaksanaan sebagaimana yang dikemukakan Anwar (2004) :
·      Bibit yang digunakan merupakan hasil penyiapan bibit dan pembibitan pada tahap sebelumnya
·      Persiapan lahan meliputi kegiatan-kegiatan :
-       Pembuatan jalur tanaman searah garis pantai atau melintang arah pasang surut dengan menggunakan bantuan tali
-       Pembersihan jalur tanaman selebar 1 m dari tumbuhan liar dan ranting
-       Pemasangan ajir-ajir secara tegak sedalam minimal 0,5 m dengan jarak tanam sesuai tujuan, jarak 1x1 m merupakan jarak yang disarankan untuk tujuan konservasi. Ajir terbuat dari bambu atau kayu yang berukuran tinggi 1,5 m dan diameter minimal 2 cm. Ajir selain sebagai penanda antara satu bibit dengan bibit lainnya juga dapat digunakan sebagai tiang penguat apabila semai atau benih diikatkan.
·      Penanaman Bibit Mangrove
-       Lubang tanam dibuat dekat ajir pada saat air surut dengan ukuran lebih besar dari ukuran pot. Kedalaman lubang disesuaikan dengan tinggi tanah pada pot.
-       Penanaman segera dilakukan setelah selesai pembuatan lubang dengan secara tegak. Sebelum ditanamkan, kantong plastic harus dibelah secara hati-hati agar tidak merusak perakaran dan plastik bekasnya disangkutkan ke ujung ajir sebagai penanda telah dilaksanakan penanaman.
-       Lubang tanam disekeliling bibit ditutup dan ditimbuni dengan tanah sampai sebatas leher akar.

Gambar 7. Penanaman Mangrove

·      Pada kondisi tapak khusus diterapkan perlakuan-perlakuan sesuai kondisi tapak yaitu tapak yang berombak besar menggunakan bambu dengan teknik berikut (gambar 7) :
-       Bambu digunakan sebagai tiang pancang (diameter minimal 7,5 cm dan panjang 1 m) ditanam sedalam 0,5 m di samping semai mangrove. Batang semai diikatkan pada tiang bambu tersebut. Agar lebih kokoh, bambu dapat dilubangi dulu dan didalamnya diisi lumpur pada saat ditancap ke tanah.  
-       Bambu digunakan sebagai buis beton penguat tanaman  dengan cara mencari bambu besar (diameter berkisar 30 cm dan tinggi 1 m) yang dilubangi ruas dalamnya, sementara ujungnya diruncingkan. Bambu tersebut ditancapkan sedalam 0,5 m, kemudian diisi dengan lumpur dan semai ditanam didalam bambu tersebut.    
-       Bambu digunakan sebagai pemecah ombak dengan cara meletakkan batang-batang bambu secara berselang-seling di bagian luar tanaman mangrove dengan tujuan untuk memperkecil deburan ombak sehingga dapat memperkecil kematian bibit yang ditanam.    

Gambar  8. Penggunaan bambu sebagai tiang pancan dan buis beton penguat tanaman

8.    Pembuatan Model Tambak Ramah Lingkungan
Budidaya tambak ramah lingkungan lebih sering disebut sebagai budidaya tambak yang melestarikan mangrove sebagai jalur hijau atau penanaman mangrove di tambak (silvofishery). Namun sesungguhnya konsep budidaya ramah lingkungan tidak hanya mencakup penerapan jalur hijau (green belt) atau penanaman mangrove, tetapi juga pada penerapan tata cara budidaya yang baik dalam arti tidak menggunakan bahan baku produksi yang merusak lingkungan dan atau membahayakan keselamatan dan kesehatan konsumen produk yang dihasilkan.
Terdapat dua penerapan sederhana untuk budidaya tambak ramah lingkungan di Indonesia yaitu sistem silvofishery dan polikultur. Pada kegiatan ini akan dicoba sistem sylvofishery. Sylvofishery atau dikenal juga dengan sebutan wanamina terdiri dari dua kata yaitu “sylvo’ yang berarti hutan/pepohonan (wana) dan “fishery” yang berarti perikanan (mina). Silvofishery merupakan pola pendekatan teknis yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan/udang dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove.
Gambar 9. Mangrove ditanam disepanjang tanggul tambak
Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan menerapkan silvofishery, yaitu:
a.   Akar-akar mangrove akan memegang tanah untuk menguatkan kontruksi pematang tambak dan pematang tambak akan teduh oleh tajuk tanaman mangrove
b.   Petambak dapat mengunakan daun mangrove terutama jenis Rhizophora sp, sebagai pakan kambing.
c.   Peningkatan produksi dari hasil tangkapan alam dan ini akan meningkatkan pendapatan masyarakat petani ikan.
d.   Mencegah erosi pantai dan intrusi air laut ke darat sehingga pemukiman dan sumber air tawar dapat dipertahankan
e.   Terciptanya sabuk hijau di pesisir (coastal green belt) serta ikut mendukung program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global karena mangrove akan mengikat karbondioksida dari atmosfer dan melindungi kawasan pemukiman dari kecenderungan naiknya muka air laut.
f.    Mangrove akan mengurangi dampak bencana alam, seperti badai dan gelombang air pasang, sehingga kegiatan berusaha dan lokasi pemukiman di sekitarnya dapat diselamatkan
Dalam pengembangannya, tambak silvofishery telah banyak dimodifikasi, namun secara umum terdapat (tiga) model tambak silvofishery, yaitu: model empang parit, komplangan, dan jalur (Gambar 9).
Gambar 9. Model Wanamina : (A) Empang Parit, (B) Komplangan, (C) Jalur,      (D) Tanggul, Sumber : PMD Mahakam & Fak. Perikanan UNMUL 2009

Pada dasarnya tahapan pengelolaan tambak ramah lingkungan baik untuk komoditas udang windu, bandeng dan rumput laut akan melalui beberapa tahap sederhana yaitu : a). Pemilihan Lokasi; b). Persiapan lahan dan air (perbaikan pematang dan saluran, pengeringan, pengapuran, pembasmian hama dan pemupukan);  b). Pemilihan dan penebaran benur; c). Pengelolaan kualitas air dan pakan; d). Pengelolaan kesehatan udang windu; e). Panen dan pasca panen; f). Pencatatan dan evaluasi data harian di dalam buku harian tambak (format)

9.   PERENCANAAN KEGIATAN
9.1.     Pembentukan Tim Pelaksana
Pembentukan tim dalam kegiatan menjadi hal yang penting mengingat bahwa keberhasilan kegiatan yang berkaitan langsung dengan masyarakat membutuhkan tingkat kepedulian dan kesabaran untuk mencapai keberhasilan. Tim yang dibutuhkan diharapkan dari berbagai ilmu terkait, diantaranya yang memiliki kemampuan dalam pengelolaan mangrove, seseorang yang memiliki kemampuan dalam ilmu perikanan dan pertambakan serta  seseorang yang memiliki kemampuan dalam bidang komunikasi dan pemberdayaan masyarakat.
9.2.     Penyusunan Rencana dan Penyamaan Persepsi
Penyusunan rencana umum dapat dilakukan bersama, namun dapat juga merupakan ide salah satu anggota tim yang kemudian dikembangkan bersama oleh seluruh anggota tim. Adanya latar belakang ilmu yang berbeda akan melengkapi isi dari rencana kegiatan yang telah disusun sebelumnya. Penyusunan rencana kegiatan selanjutnya diikuti kegiatan penyamaan persepsi diantara anggota tim.
Persepsi yang sama diantara seluruh anggota tim akan sangat membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan terutama berkaitan dengan upaya mengatasi berbagai permasalahan yang mungkin akan muncul di lapangan. Kesamaan dalam memahami rencana dan strategi kegiatan juga dimaksudkan untuk menghindari kerancuan pengertian yang akan muncul karena dapat menyebabkan kebingungan di masyarakat sasaran.
Kesamaan persepsi dapat dicapai melalui berbagai sesi-sesi diskusi yang intensif antar anggota tim. Dalam diskusi ini dapat juga disepakati pembagian tugas dan tanggung jawab antara anggota tim.   
9.3.     Pelaksanaan Kegiatan
Perencanaan kegiatan disusun sebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan. Adapun rincian kegiatan dalam upaya perlindungan dan rehabilitasi ekosistem mangrove di Kota Tarakan adalah sebagai berikut :
9.3.1.    Survey dan Penetapan Lokasi Kegiatan
Penentuan lokasi kegiatan ini diawali dengan mencari informasi dari laporan kegiatan dan literatur lain yang berkaitan erat dengan kegiatan yang akan dilaksanakan serta informasi yang ada di masyarakat seperti karakteristik masyarakat dan lembaga pendukung disekitar lokasi penanaman.
Untuk penentuan secara pasti lokasi kegiatan, Tim kemudian melakukan survey lokasi dengan mengamati secara visual kondisi di lapangan. Pelaksanaan survey tersebut dilengkapi dengan kriteria fisik lokasi kegiatan yang diinginkan menjadi daerah sasaran, diantaranya :   
·      terbukti secara fisik mengalami abrasi
·      secara fisik masih terlihat adanya hutan mangrove dalam kondisi rusak berat atau pernah ada hutan mangrove
·      sebagian besar masyarakatnya adalah petani tambak dan nelayan
·      tambak merupakan milik masyarakat setempat
·      areal tambak berlokasi dekat dengan pemukiman masyarakat
·      dapat memenuhi kriteria-kriteria teknis untuk dijadikan areal tambak percontohan/percobaan
Penetapan lokasi kegiatan juga harus mempertimbangkan beberapa hal berikut :
·      Potensi permasalahan lingkungan, yaitu adanya berbagai permasalahan yang memang telah terjadi di lokasi tersebut, baik terlihat langsung maupun informasi masyarakat seperti terjadi abrasi, berkurangnya hasil perikanan, penurunan kualitas air dsb.
·      Kemampuan anggaran/ dana. Sebaiknya lokasi kegiatan dipilih yang tidak terlalu jauh dari pusat organisasi kegiatan agar dana yang tersedia tidak habis terserap untuk membiayai perjalanan. Selain itu juga memudahkan tim untuk secara intensif berkunjung untuk melakukan pendampingan.
Adapun berdasarkan hasil survey lokasi diatas, direncanakan kegiatan akan dilaksanakan di Desa Binalatung yang terletak di pinggir Pantai Amal Lama. Secara fisik terlihat di lokasi ini telah terjadi abrasi pantai yang sangat mengkhawatirkan. Beberapa rumah warga harus dipindahkan karena apabila pasang laut datang, air telah mencapai rumah dan beberapa tambak masyarakat telah rusak. Masyarakat di daerah ini juga tergolong miskin dan memiliki mata pencaharian sebagai nelayan laut dan nelayan tambak.
9.3.2.    Perencanaan Teknis

Perencanaan teknis merupakan upaya untuk menyusun rencana kegiatan secara detil berdasarkan informasi dan data-data dari hasil survey lokasi dan studi literatur. Adapun beberapa hal yang dilakukan dalam perencanaan teknis sebagai berikut :

·      Mengkaji ulang detil rencana kegiatan yang akan dilaksanakan, mulai dari metode, peralatan dan bahan yang dibutuhkan, pelaksanaan kegiatan, monitoring dan evaluasi kegiatan.
·      Menentukan pola pendekatan yang akan digunakan, dalam hal ini akan dipilih metode participatory rural appraisal, pertemuan formal dan informal, diskusi-diskusi, studi banding dan metode lainnya. Pada bagian ini juga dipersiapkan berbagai materi informasi yang akan digunakan seperti poster, slide, selebaran, film-film yang berkaitan dengan pentingnya rehabilitasi mangrove.
·      Penajaman kelompok target prioritas (stakeholders). Yaitu menentukan siapa saja yang akan memperoleh manfaat langsung dari keberadaan mangrove yang lestari, siapa saja yang akan mendukung kelestarian mangrove pada saat ini dan di masa depan, siapa saja yang potensial merusak dan stakeholder lainnya.  Beberapa kelompok sasaran adalah tokoh masyarakat dan pemuka agama, nelayan, petambak, sekolah, dan pemerintah daerah.
·      Persiapan penguasaan teknik-teknik kegiatan yang akan dilakukan yaitu : teknik PRA, teknik penanaman mangrove, dan teknik pembuatan tambak ramah lingkungan.
·      Penyusunan langkah-langkah kegiatan sesuai dengan kondisi lapangan dan hasil pertimbangan butir-butir diatas, sehingga dapat ditentukan secara jelas tahap-tahap dan target waktu yang dibutuhkan bagi setiap kegiatan.



9.3.3.    Pelaksanaan Kegiatan di lapangan 

Kegiatan ini terbagi menjadi dua bagian yaitu : 1) Tahap pendekatan kepada kelompok sasaran; 2) Uji coba beberapa metode penanaman mangrove pada lokasi yang ditetapkan; 3) Model tambak ramah lingkungan. Adapun rincian dari masing-masing kegiatan tersebut adalah :

1). Tahap pendekatan kepada kelompok sasaran
            Pendekatan ke stakeholder atau kelompok sasaran merupakan hal penting yang harus dilakukan pada tahap awal kegiatan. Kegiatan awal ini akan sangat menentukan keberhasilan kegiatan selanjutnya. Pada tahap ini, tim pelaksana harus berupaya untuk dapat menjalin hubungan kerjasama dengan masyarakat. Di Desa Binalatung pimpinan desa adalah seorang Lurah sehingga tahap awal yang dilakukan tim adalah menyampaikan tujuan dan rencana kegiatan kepada Lurah Pantai Amal.
            Dalam kegiatan ini Tim mencatat setiap tanggapan yang datang dari Lurah (Kepala Desa), dapat juga mulai digali infromasi tentang siapa saja tokoh masyarakat yang perlu dikunjungi. Kunjungan ke tokoh masyarakat sebaiknya didampingi oleh perangkat kelurahan (desa) agar tokoh masyarakat dan masyarakat secara umum mengetahui bahwa keberadaan Tim atas persetujuan Lurah (Kepala Desa).
            Selain pendekatan kepada perangkat desa dan tokoh masyarakat, Tim juga harus mulai memperkenalkan diri kepada Ketua RT dan warga sekitar tempat Tim akan mendirikan pusat kegiatan. Informasi yang diperoleh dari Lurah (Kepala Desa) dan Tokoh masyarakat sebaiknya di cek dan ricek kepada masyarakat, karena seringkali terdapat perbedaan persepsi antara warga dengan Lurah (Kepala Desa). Dalam kesempatan ini juga Tim harus mulai dapat menggali potensi konflik sosial yang mungkin saja berkembang di masyarakat. Misalnya adanya kelompok-kelompok yang saling bertentangan dalam usaha atau mata pencaharian dsb.
            Proses pendekatan ini diperkirakan akan berjalan maksimal dalam waktu ± 1 bulan dan semakin lama akan semakin baik sebelum mengajak warga untuk terlibat. Dalam proses pendekatan ini, Tim sebaiknya tinggal dan bergaul dengan masyarakat serta mengikuti seluruh kegiatan yang dilakukan masyarakat seperti shalat berjamaah, perhelatan, pergi ke tambak dan lain-lain. Namun demikian apabila waktu yang tersedia singkat, dapat saja dalam kegiatan ini Tim melakukan pendekatan dengan langsung mengutarakan maksud dan tujuan kegiatan sekaligus mengajak warga untuk terlbat. Melalui kegiatan ini dharapkan masyarakat sekitar lokasi penanaman telah memiliki kemauan untuk terlibat dalam upaya rehabilitasi mangrove dan memiliki pengetahuan teknik budidaya mangrove.
            Pendekatan kepada kelompok sasaran lainnya seperti sekolah dan pemerintah daerah lainnya dapat dilakukan bersamaan pendekatan kepada masyarakat. Kedua kelompok sasaran ini juga memiliki peran yang penting dalam mendukung keberhasilan pendampingan kepada masyarakat.
2)  Tahap pengenalan kegiatan kepada kelompok sasaran untuk penanaman mangrove dan tambak ramah lingkungan
Setelah masyarakat terbiasa dengan kehadiran tim, untuk pelaksanaan kegiatan selanjutnya yaitu penanaman mangrove dan tambak ramah lingkungan dimulai dengan diskusi-diskusi dengan menerapkan metode PRA (Partisipatory Rural Appraisal). Kegiatan ini sebaiknya melibatkan seluruh warga masyarakat dengan mengundang seluruh tokoh masyarakat dan perangkat desa.
Untuk itu maka perlu diketahui kebiasan-kebiasaan yang berkembang di masyarakat, seperti kapan mereka biasa berkumpul, dimana tempatnya, bagaimana cara mengundangnya. Bagi warga di Desa Binalatung yang sebagian besar warganya adalah nelayan laut dan tambak, maka perlu diketahui kapan warga tidak pergi kelaut, dengan harapan seluruh warga dapat terlibat dalam kegiatan ini. 
Pada kegiatan ini, tim dapat mulai menggali berbagai permasalahan yang berkaitan dengan kondisi desa dan mata pencaharian warga terutama kegiatan nelayan laut dan tambak. Masyarakat coba diarahkan untuk dapat membandingkan kondisi dahulu dan sekarang serta hal-hal yang diperkirakan menjadi penyebab perubahan tersebut. Berdasarkan hal-hal tersebut, tim dapat mulai memberikan gambaran akan pentingnya keberadaan Hutan Mangrove yaitu fungsi-fungsinya secara ekologis dan ekonomis yang berdampak terhadap kehidupan masyarakat. Misalnya bahwa mangrove dapat menahan gempuran ombak yang mengakibatkan abrasi pantai. Mangrove merupakan tempat ikan dan udang meletakkan telurnya dan melakukan pembesaran anak-anaknya (pemijahan), tempat mencari makan, sehingga produksi ikan dan udang sangat tergantung pada keberadaan hutan mangrove. 
Dalam diskusi-diskusi ini juga dibentuk kelompok-kelompok untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan selanjutnya. Pembentukan kelompok sebaiknya atas inisiatif warga, meski sulit dilakukan, namun Tim harus dapat menumbuhkan kepercayaan warga bahwa pembentukan kelompok akan sangat bermanfaat untuk melaksanakan berbagai kegiatan. Kelompok yang terbentuk berdasarkan inisiatif warga diharapkan akan dapat berjalan dengan baik sesuai yang diharapkan.Pada pertemuan-pertemuan selanjutnya diharapkan warga masyarakat memiliki peran aktif seperti menentukan jadwal pertemuan dan mengundang anggota kelompoknya untuk hadir.
3)  Uji coba beberapa teknik penanaman mangrove pada lokasi yang ditetapkan
Pelibatan masyarakat pada tahap selanjutnya dimulai dari penentuan lokasi penanaman, penyiapan bibit, pembibitan, penyiapan areal tanam, penanaman, pemantauan pertumbuhan dan pemeliharaan. Pelibatan ini tidak harus menyebabkan masyarakat kehilangan waktu untuk aktivitas rutin sehari-hari, namun disesuaikan dengan waktu yang dimiliki. Adanya kelompok-kelompok yang telah terbentuk dapat memudahkan upaya untuk pelibatan masyarakat dalam penanaman mangrove. Teknik penanaman dilakukan mengikuti teknik yang telah dibuat oleh tim (lihat penjelasan teknik penanaman mangrove) dengan menyesuaikan kondisi di lapangan dan masukan dari masyarakat.
Penanaman mangrove dapat juga diselaraskan dengan kegiatan yang dilakukan oleh instansi terkait misalnya Dinas Kehutanan dengan melibatkan sekolah-sekolah sehingga warga merasa terdorong karena adanya kepedulian dari pihak-pihak lain.
4)  Pembuatan contoh tambak ramah lingkungan
Untuk kegiatan ini tim perlu melakukan diskusi dengan kelompok masyarakat untuk menentukan lokasi tambak percontohan dengan berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Penentuan lokasi bersama diharapkan akan menghindarkan rasa iri dari kelompok lain. Kriteria yang ditetapkan diantaranya :
a)  Tambak merupakan milik warga dan bukan merupakan tanah sewa dari pihak lain yang tidak terlibat dalam kegiatan ini, sehingga dapat menjamin keberlanjutan kegiatan ini
b)  Tambak harus dalam kondisi sehat dan bukan tambak yang sedang terkena penyakit atau wabah.
c)  Memungkinkan untuk dilakukan penanaman mangrove misalnya tanggul yang cukup lebar atau tersedia lahan disekitar tambak yang dapat ditanami mangrove.
d)  Lokasi tambak mudah dijangkau oleh seluruh anggota masyarakat dan tim yang terlibat agar memudahkan setiap tahap kegiatan lainnya seperti proses pembelajaran bagi kelompok lain, pemantauan tambak dan pemungutan hasilnya.

10.      Monitoring dan Evaluasi
10.1.  Monitoring
Beberapa permasalahan yang seringkali muncul dalam kegiatan ini adalah adanya konflik kepentingan antara berbagai pihak, efektivitas pengelolaan, permasalahan teknis (hama, penyakit/predator dan gangguan manusia), kondisi alam (banjir, pasang surut tak menentu), kondisi pasar (kenaikan/penurunan  harga) dan faktor-faktor dari luar ataupun dari kegiatan itu sendiri.
Tahap monitoring diharapkan dapat mendeteksi sedari awal berbagai permasalahan tersebut, oleh karenanya tahap monitoring sebaiknya dilakukan sejak awal proses kegiatan yaitu sejak tahap pendekatan dan diskusi-diskusi intensif dengan masyarakat berkaitan dengan penanaman mangrove dan tambak percontohan. Melalui monitoring yang dilakukan sejak awal dan berkelanjutan diharapkan setiap permasalahan dapat segera diatasi dan tidak terakumulasi menjadi permasalahan yang berat.
10.2.  Evaluasi
Tahap evaluasi dilakukan terhadap berbagai masukan dan hasil monitoring dari seluruh proses kegiatan dengan melibatkan masyarakat dan stakeholder lainnya. Melalui tahap ini akan diketahui kelemahan dan kelebihan dari seluruh proses kegiatan yang dilakukan, teknik-teknik penanaman mangrove dan pembuatan tambak percontohan.
            Evaluasi dilakukan dengan melibatkan seluruh pihak agar tetap terjalin perasaan memiliki terhadap kegiatan yang ada. Selain itu, diharapkan juga akan diperoleh kesepakatan bersama terhadap hal-hal yang menentukan keberhasilan dan kegagalan dari kegiatan tersebut.





















DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2010. Buku Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Tarakan Tahun 2010. Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kota Tarakan.
Anwar, C. 2004. Teknologi Rehabilitasi Lahan Mangrove Terdegradasi. Makalah utama pada Ekspose Penerapan Hasil Litbang dan Konservasi Alam. Palembang, 15 Desember 2004.
Atmawidjaja, R. 1987. Konservasi dalam Rangka Pemanfaatan Hutan Mangrove di Indonesia dalam Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. Proyek Penelitian Lingkungan Hidup-LIPI. Jakarta.
Bengen, G.D.  2002.  Pengelolaan Ekosistem Mangrove.  PKSPL – IPB.  Bogor
Hadipurnomo. 1995. Fungsi dan Manfaat Mangrove di dalam Mintakat Pantai (Coastal Zone). Duta Rimba/Maret-April/177-178/XXI/1995. Perum Perhutani. Jakarta.
Handayani, S. 2009. Penerapan Metode Penelitian Participatory Research Apraisal Dalam Penelitian Permukiman Vernakular (Permukiman Kampung Kota).  Prosiding Seminar Nasional Penelitian Arsitektur – Metoda Dan Penerapannya Seri 2 UNDIP Semarang.
Naamin, N. 1991. Penggunaan Lahan Mangrove Untuk Budidaya Tambak Keuntungan dan Kerugiannya. Dalam Subagjo Soemodihardo et al. Proseding Seminar IV Ekosistem Mangrove. Panitia Nasional Pangan MAB Indonesia LIPI.
Nontji, A.  1993.  Laut Nusantara.  Penerbit PT. Djambatan.  Jakarta.
Kusmana, C. 2002. Respon Mangrove Terhadap Pencemaran. Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB.
Pariyono. 2006. Kajian Potensi Kawasan Mangrove Dalam Kaitannya Dengan Pengelolaan Wilayah Pantai Di Desa Panggung, Bulakbaru, Tanggultlare, Kabupaten Jepara. Tesis.  Program Pascasarjana Magister Manajemen Sumber Daya Pantai Universitas Diponegoro Semarang.
Romimohtarto, K., dan S.  Juana, 2001.  Biologi Laut Ilmu Pengetahuan tentang Biologi Laut.  Penerbit PT.  Djambatan Jakarta.
Savitri, L.A dan M. Khazali. 1999. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Pengalaman Pelaksanaan Pengembangan Tambak Ramah Lingkungan Dan Rehabilitasi Mangrove di Indramayu. Kerjasama : PKSPL IPB, Wetlands International - Indonesia Programmed dan Netherlands Ministry of Agriculture, Nature Management and Fishery.
Sualia, Ita. Eko Budi Priyanto dan I Nyoman N. Suryadiputra. Panduan Pengelolaan Budidaya Tambak Ramah Lingkungan di Daerah Mangrove. Wetlands International - Indonesia Programmed
Zaitunah, 2002.  Kajian Keberadaan Hutan Mangrove : Peran, Dampak Kerusakan Dan Usaha Konservasi. Dipublikasikan oleh Digital library Universitas Sumatera Utara.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar